Politisi Golkar minta revisi UU Lalu Lintas Devisa



JAKARTA. Undang-Undang (UU) Lalu Lintas Devisa Indonesia dianggap sebagai salah satu regulasi devisa paling liberal sedunia. Informasi ini disampaikan oleh Wakil Ketua Komisi XI DPR-RI, Harry Azhar Azis melalui siaran pers Partai Golkar hari ini, Senin (9/9).

Menurut Harry, UU No 24/1999 itu merupakan regulasi warisan di era Indonesia sewaktu Indonesia di bawah pengawasan IMF (International Monetary Fund). Menurut Harry, aturan tersebut membuat pasar valas dan pasar modal Indonesia mudah rontok seperti yang terjadi belakangan ini.

“Regulasi devisa yang ada sekarang sudah merugikan perekonomian dan sangat mengganggu sektor riil, harus segera direvisi. Itu target kami,” kata Harry Azhar Azis dari fraksi Golkar tersebut. Harry mengatakan, saat ini adalam momentum tepat merevisi UU Lalu Lintas Devisa tesrebut.


“Pasar Valas kita mudah kering. Orang asing seenaknya keluar-masuk, ekonomi kita yang terguncang oleh instabilitas pasar uang dan pasar modal. Ini tidak bisa dibiarkan terus,” tambahnya. Saat ini, draft rancangan perubahan aturan lalu lintas devisa itu berada di Deputi Sekjen Perundang-Undangan DPR dan belum sampai ke Komisi XI.

Dalam penjelasannya, UU Devisa memberikan kelonggaran yang luas kepada Bank Indonesia untuk mengatur lalu lintas devisa dan valuta asing melalui Peraturan Bank Indonesia. Namun faktanya, PBI yang ada dinilai belum ampuh meredam gejolak rupiah belakangan.

Tak hanya itu, devisa bangsa ini malah semakin dinikmati oleh pihak luar. Harry memberi contoh, Thailand adalah negara yang sukses memburu serta mengembalikan devisa hasil ekspornya melalui UU Devisa yang sangat ketat.

“Dalam UU Devisa di Thailand tersebut ada kewajiban untuk menempatkan DHE di bank lokal dalam periode tertentu atau disebut holding period. Saya kira ini bagus, supaya pasar valas kita tidak mudah dimainkan dan stabil, dunia usaha juga jadi tenang,” ujar Harry.

Alhasil, kini Thailand berhasil menjaga nilai tukar mata uangnya terhadap dolar Amerika Serikat (AS) walaupun di sana terjadi krisis politik “kaos merah” beberapa tahun silam.

Saat ini Bank Indonesia memiliki PBI No.13/20/PBI/2011 dan Surat Gubernur BI no.14/3/GBI/SDM tanggal 30 Oktober 2012. Di sana diwajibkan devisa hasil ekspor komoditas tambang, serta minyak dan gas yang diparkir di luar negeri ditarik ke dalam negeri paling lambat 90 hari setelah tanggal pemberitahuan ekspor barang (PEB).

Namun, PBI tersebut tak cukup kuat menarik dan menahan devisa hasil ekspor ke dalam negeri. ”Salah satu penyebabnya adalah, tak ada kewajiban menaruh devisa di dalam negeri dalam waktu tertentu, dalam enam bulan misalnya. Sebab di situ aturannya cuma melakukan pelaporan ya kembali lagi ke luar negeri. Negara ini dapat apa?” pungkas Harry.

Sebelumnya, Deputi Direktur Pengelolaan Moneter Bank Indonesia (BI) Wiwiek Sisto Widayat dalam diskusi yang digelar KONTAN di kantor Kompas Gramedia, Jakarta, (15/9) lalu menjelaskan, BI kesulitan menarik devisa hasil ekspor ke Indonesia.

Alasannya, BI hanya bisa untuk mengimbau dan tidak memiliki instrumen untuk memaksa dana hasil devisa ekspor itu di taruh di bank dalam negeri. “Tidak ada kewajiban itu di dalam UU,” terang Wiwiek. 

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Editor: Asnil Amri