Ponsel ilegal bisa dihalau tanpa identifikasi IMEI



KONTAN.CO.ID -JAKARTA. Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kominfo) berencana untuk melakukan pembatasan peredaran ponsel ilegal. Kini pemerintah telah menyiapkan Rancangan Peraturan Menteri Komunikasi dan Informatika tentang Pembatasan Akses Layanan Telekomunikasi Bergerak Seluler pada Alat dan Perangkat Telekomunikasi. Nantinya, ponsel ilegal bisa dideteksi melalui International Mobile Equipment Identity (IMEI).

Menurut Pengamat Telekomunikasi dan Direktur Eksekutif Indonesia ICT Institute, Heru Sutadi pemerintah bisa saja mencegah peredaran ponsel ilegal tanpa identifikasi IMEI.

Baca Juga: Berantas ponsel ilegal dengan IMEI, Tri: Kami butuh dana Rp 40 miliar-Rp 70 miliar


“Pintu masuk ponsel dari luar negeri diperketat, jalur tikus ditutup,” katanya kepada Kontan.co.id pada Rabu (21/8). Kalaupun masih ada yang lolos, pemerintah bisa melakukan operasi atau razia ke toko ponsel juga ke platform e-commerce.

Nah, pemblokiran IMEI, bagi Heru, merupakan cara yang paling tidak melelahkan, namun berisiko merugikan pengguna. Hal itu karena mayoritas pengguna ponsel tidak tahu istilah IMEI. “Selain itu pasar ponsel bekas sebenarnya juga masih besar,” tambahnya.

Tapi di sisi lain, adanya aturan itu, kata Heru, bisa bermanfaat bagi negara karena ponsel ilegal terhindar dari segi pajak. Sebelumnya, Ketua Umum APSI Hasan Aula menjelaskan IMEI merupakan cara terbaik untuk membendung ponsel ilegal. APSI memperkirakan peredaran ponsel BM memiliki potensi pajak yang hilang sekitar Rp 2,8 triliun per tahun.

Perhitungan itu didasarkan jumlah ponsel pintar baru setiap tahun sebanyak 45 juta ponsel pintar baru. Adapun sekitar 20% hingga 30 % atau setara dengan 9 juta unit ponsel merupakan ponsel BM.

Dengan harga per ponsel dalam kisaran harga Rp2,2 juta, nilai ponsel baru yang beredar mencapai Rp 22,5 triliun. Dengan demikian, ponsel BM tidak membayar pajak sehingga potensi kerugian negara dari hilangnya pendapatan 10% PPN dan 2,5% PPh adalah sekitar Rp 2,8 triliun setahun.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Editor: Azis Husaini