Pontjo Sutowo Terseret Sengketa Tanah



JAKARTA. Semestinya, putusan hukum menyelesaikan masalah, tetapi ternyata yang terjadi justru sebaliknya. Putusan Badan Arbitrasi Nasional Indonesia (BANI) dalam sengketa tuntutan ganti rugi PT Patra Jasa kepada PT Sapta Nadia Maju dan PT Patra Aditarina malah menimbulkan sengketa baru. Ceritanya begini. Pada 10 Agustus 2007, BANI mengabulkan sebagian tuntutan ganti rugi Patra Jasa kepada Sapta Nadia Maju dan Patra Aditarina. Putusan itu menyatakan, Sapta Nadia Maju dan Patra Aditarina harus membayar ganti rugi secara tanggung renteng senilai US$ 1,493 juta dan Rp 49,5 juta kepada Patra Jasa. Namun, sebaliknya, BANI juga mengabulkan gugatan rekonpensi yang diajukan Sapta Nadia Maju. Vonis ini mengharuskan Patra Jasa mengembalikan sebagian uang muka atau angsuran harga tanah yang telah dibayarkan senilai Rp 2,9 miliar kepada Sapta Nadia Maju. Sengketa baru muncul ketika Patra Jasa mengajukan sita eksekusi putusan BANI terhadap aset Sapta Nadia Maju ke Pengadilan Negeri (PN) Jakarta Pusat. Hakim pengadilan mengabulkan permohonan sita jaminan tersebut pada 16 Oktober 2008 lalu. Masalahnya, pihak lain yang mengklaim sebagai pemilik aset tersebut berang atas penetapan sita eksekusi PN Jakarta Pusat itu. Adalah Zaleha Sutowo dan PT Mass Sarana Motorama yang menolak penetapan sita eksekusi itu. Zaleha Sutowo, yang merupakan ibu dari Pontjo Sutowo, Direktur Utama PT Indobuild Co, mengaku sebagai pemilik yang sah atas tanah seluas 2.042 meter persegi (m2) yang akan menjadi sita jaminan. Begitu juga dengan Mass Sarana Motorama. Pontjo Sutowo selaku pemegang saham mayoritas Mass Sarana menyatakan, gedung NV Mass dan Wisma Nugra Santana di Jalan Jendral Sudirman Kav 7-8, Jakarta, sebagai miliknya. Keduanya mengajukan bantahan ke PN Jakarta Pusat. Mereka meminta penyitaan atas ketiga aset itu dibatalkan. Sebab, mereka merasa tidak pernah menjadikan aset itu sebagai jaminan dalam perjanjian bisnis antara Patra Jasa dengan Sapta Nadia Maju. "Kami juga tidak pernah terlibat dalam perjanjian apapun," kata Arie Hutagalung, pengacara Mass Sarana Motorama dan Zaleha Sutowo dalam bantahan yang disampaikan ke PN Jakarta Pusat. Sapta Nadia membenarkan bantahan ini. "Memang tidak pernah ada kesepakatan kalau kedua objek itu dijadikan jaminan," tegas Timotius Tumbur Simbolon, pengacara Sapta Nadia. Tetapi, Patra Jasa menepis bantahan ini. Pengacara Patra Jasa, Muchyar Yara, menyatakan, Zaleha dan Pontjo jelas punya kaitan dengan Sapta Nadia Maju dan Patra Aditarina. Sebab, Pontjo adalah Direktur Sapta Nadia Maju. Pontjo juga ahli waris dari salah satu objek tanah yang akan dieksekusi.

Buntut krisis 1997

Pangkal sengketa Patra Jasa dan Sapta Nadia Maju terkait dengan perjanjian pengelolaan tanah milik negara seluas sekitar 6.000 m2 di kawasan Patra Kuningan, Jakarta Selatan, pada 1992 silam. Keduanya membentuk perusahaan baru Patra Aditarina untuk mengelola tanah itu. Sebagai uang muka dan kompensasi sebelum selesainya pembangunan, Sapta Nadia Maju membayarkan uang senilai US$ 1,4 juta dan Rp 2,1 miliar kepada Patra Jasa. Namun, pembangunan tersebut tak pernah selesai karena krisis ekonomi pada 1997 silam. Belakangan, Patra Jasa menggugat karena pembangunan tak kunjung selesai dan gedung yang selama ini jadi sumber pendapatan sudah keburu dibongkar. Patra Jasa membawa masalah ini ke BANI dan menuntut ganti rugi sesuai perjanjian itu.


Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Editor: