Porsi industri keuangan di SUN tumbuh



JAKARTA. Aturan wajib berinvestasi pada surat berharga negara (SBN) bagi industri keuangan non bank (IKNB) berhasil mendongkrak permintaan obligasi pemerintah. Buktinya, kepemilikan obligasi pemerintah oleh asuransi dan dana pensiun tumbuh.

Direktorat Jenderal Pengelolaan Pembiayaan dan Risiko (DJPPR) Kementerian Keuangan mencatat, kepemilikan asuransi di SUN meningkat dari Rp 171,62 triliun di akhir 2015 menjadi Rp 193,99 triliun pada 11 April 2016.

Dari jumlah tersebut, kepemilikan asuransi di surat utang negara (SUN) naik sebesar Rp 16,5 triliun menjadi Rp 158,43 triliun. Sedangkan kepemilikan di surat berharga syariah negara (SBSN) atau sukuk naik sebesar Rp 8,87 triliun ke Rp 35, 56 triliun.


Dengan demikian, persentase kepemilikan industri asuransi di SBN mencapai 12,32%, naik dari sebelumnya 11,74% di periode yang sama di 2015. Sedangkan kepemilikan dana pensiun di SBN naik dari Rp 49,83 triliun menjadi Rp 56,21 triliun. Persentase kepemilikannya juga naik dari 3,41% menjadi 3,57%.

Wait and see

Head of Fixed Income Indomitra Securities Maximilianus Nico Demus mengatakan, masuknya IKNB menopang harga obligasi di pasar sehingga tetap positif. "Sekarang ketika IKNB masuk, meskipun asing keluar, harga obligasi domestik masih tegak berdiri," ujar Nico.

Kepemilikan asing di SBN memang sempat beberapa kali berkurang di bulan Februari dan Maret. Sedangkan pada 11 April 2016, kepemilikan asing mencapai Rp 613,39 triliun, naik dibandingkan akhir 2015 sebesar Rp 558,52 triliun.

Persentase kepemilikan asing di SBN naik tipis dari 38,21% menjadi 38,97%. Presiden Direktur PT Sucorivest Asset Management Adrian Panggabean yakin harga SBN akan naik seiring meningkatnya permintaan. "Akibatnya yield turun, kurva yield akan flat," ujar dia.

Adrian optimistis akan terjadi keseimbangan antara porsi kepemilikan investor asing dan investor lokal di SBN. Ini bagus bagi pasar surat utang dalam negeri. Namun Nico melihat investor IKNB masih wait and see masuk ke obligasi pemerintah.

Penyebabnya, pasar SBN sudah terlalu overvalued. Tidak hanya itu, perekonomian global juga masih melambat serta masih ada potensi kenaikan suku bunga bank sentral Amerika Serikat (AS). Dampaknya bisa negatif apabila IKNB masuk saat harga tinggi.

"Para lembaga non keuangan tidak ingin membeli barang obligasi di harga tertinggi kemudian nyangkut," ujar Nico.

Meski begitu, I Made Adi Saputra, analis MNC Securities, mengatakan, IKNB tentunya sudah mempertimbangkan faktor likuiditas sebelum masuk ke SBN.

"Apalagi bagi IKNB yang sudah full alocated, sehingga apabila ingin masuk ke SBN harus menjual portofolio lain seperti obligasi korporasi atau saham," ujar Made.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Editor: Barratut Taqiyyah Rafie