JAKARTA. Tekanan eksternal memicu investor asing melepas kepemilikannya di surat berharga negara (SBN) sepanjang Oktober 2016. Merujuk situs Direktorat Jenderal Pengelolaan Pembiayaan dan Risiko (DJPPR) Kementerian Keuangan per 31 Oktober 2016, kepemilikan asing di SBN domestik yang dapat diperdagangkan hanya tinggal Rp 675,64 triliun. Angka ini susut 1,36%, atau sekitar Rp 9,34 triliun. Padahal di September 2016, jumlah kepemilikan asing mencapai Rp 684,98 triliun. Dus, persentase kepemilikan asing di SBN juga mengecil dari semula 39,16% menjadi 38,4%. Analis Indonesia Bond Pricing Agency (IBPA) Nicodimus Anggi Kristiantoro menuturkan, pasar surat utang domestik memang berbalut tren bearish sepanjang Oktober 2016. Biang keladinya adalah spekulasi kenaikan suku bunga acuan The Fed pada pertemuan Desember 2016.
Maklum, kondisi ekonomi Negeri Paman Sam mulai membaik. Ini tercermin dari indeks manufaktur yang mulai cerah, klaim pengangguran mingguan yang akhirnya berada di level terendah sejak 43 tahun terakhir serta inflasi tahunan yang terus menggendut mendekati target 2% Produk domestik bruto (PDB) AS di kuartal tiga lalu juga tumbuh jadi 2,9%. "Pelaku pasar akhirnya cenderung melakukan antisipasi risiko dengan memindahkan aset mereka ke instrumen yang lebih aman," terang Anggi. Senior Research Analyst pasardana.id Beben Feri Wibowo menambahkan, kekhawatiran investor bertambah oleh pemilihan umum presiden AS yang berlangsung pada 8 November ini. Apalagi pasar dalam negeri tengah minim katalis positif. Walhasil, investor asing cenderung mengambil sikap konservatif dengan merealisasikan keuntungan (
profit taking). Apalagi, obligasi pemerintah memang sudah memasuki area jenuh beli
(overbought). Di sisi lain, pelaku pasar juga menanti rilis data pertumbuhan ekonomi Indonesia kuartal-III 2016. Beben enggan berasumsi penurunan kepemilikan investor asing disebabkan oleh pengalihan dana investor lokal via amnesti pajak. "Karena jika demikian, seharusnya regulator memberikan pengumuman jika hal tersebut benar, agar informasi atau data kepemilikan asing tidak semu di mata investor," tutur dia. Jangka pendek Ia pun yakin, hengkangnya asing dari SBN hanya sementara. Jika data pertumbuhan Indonesia di kuartal III-2016 mumpuni, investor asing akan kembali berlomba-lomba masuk. "Saya prediksi kepemilikan asing di SBN masih bisa tumbuh tipis sekitar 2% menjadi Rp 685 triliun–Rp 686 triliun hingga akhir tahun nanti," kata Beben menganalisa. Pengamat memprediksi obligasi negara yang bakal diburu antara lain FR0056. Beben memprediksi, yield obligasi ini bakal berada di kisaran 5,65%–9,08% di penghujung 2016. Anggi sepakat keluarnya asing dari pasar obligasi cuma sentimen jangka pendek. Apalagi tawaran yield obligasi Indonesia lebih atraktif ketimbang negara regional lainnya. Mengacu situs AsianBondsOnline per 3 November 2016, yield obligasi pemerintah Indonesia bertenor 10 tahun mencapai 7,23%. Ini lebih menarik ketimbang yield obligasi pemerintah China bertenor sama, yakni cuma 2,74%. Sedang yield SUN Jepang minus 0,06%, Malaysia 3,62%, Filipina 4,03%, Singapura 1,91%, Thailand 2,13%, dan Vietnam 6,2%. "Makroekonomi Indonesia yang stabil akan mampu meredakan tekanan global," tukas Anggi.
Ia meyakini inflasi dalam negeri tahun ini masih terkendali, bahkan bisa mencapai target bawah Bank Indonesia (BI), yakni sebesar 3%. Selain itu, masih ada ruang bagi BI melonggarkan kebijakan moneter. Namun, ada beberapa tantangan yang patut dicermati, terutama dari eksternal. Mulai dari rencana kenaikan suku bunga The Fed pada akhir tahun ini, proses pemindahan keluarnya Inggris dari Uni Eropa yang ditargetkan berlangsung awal tahun 2017, serta perekonomian China yang cenderung stagnan. "Pasar juga perlu mencermati pergerakan mata uang rupiah yang akan terkena dampak dari tekanan eksternal tersebut," kata Anggi. Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News Editor: Barratut Taqiyyah Rafie