JAKARTA. Setiap kebijakan yang dikeluarkan pemerintah mempunyai dua mata sisi, positif dan negatif. Begitu pula halnya dengan pelarangan ekspor mineral mentah atawa ore yang mempunyai dampak negatif menurunkan penerimaan negara dalam jangka pendek. Hingga bulan Maret 2014, belum ada penerimaan yang masuk ke kas negara dari sektor bea keluar mineral. Direktur Jenderal Bea dan Cukai Kementerian Keuangan Agung Kuswandono mengatakan sejak UU Minerba Nomor 4 Tahun 2009 berlaku 12 Januari kemarin, sama sekali tidak ada penerimaan dari ekspor bea keluar mineral. "Kalau dibilang drop, ya drop sekali," ujar Agung, Selasa (1/4). Menurutnya, porsi target penerimaan bea keluar setiap tahunnya dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) adalah sekitar Rp 5 triliun. Alhasil jika belum ada sama sekali bahan mineral mentah olahan yang diekspor maka target penerimaan bea keluar menjadi nihil. Memang untuk bisa mengekspor mineral mentah yang sudah diolah harus memperoleh izin ekspor terlebih dahulu dari Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM). Salah satu persyaratan dokumen yang harus dipenuhi adalah salinan kontrak jual beli produk hasil pemurnian dengan pembeli dari luar negeri. Mineral yang diekspor pun sudah harus melalui proses pengolahan dalam negeri. Ambil contoh, berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan (PMK) Nomor 6/PMK.011/2014, tembaga yang boleh diekspor adalah tembaga dengan konsentrat kadar lebih dari atau sama dengan 15%. Tarif bea keluar untuk tembaga ini adalah 25% hingga 30 Juni 2014. Naik secara bertahap hingga mencapai 60% sejak 1 Juli hingga 31 Desember 2016. Agung sendiri mengaku tidak terlalu mempermasalahkan nihilnya penerimaan dari sektor ini. Aturan pelarangan ekspor mineral mentah harus dilakukan dan harus diolah di dalam negeri agar mempunyai nilai tambah yang lebih tinggi. Akibatnya masyarakat mendapat pekerjaan baru dan sektor riil bergerak. Kalau sektor riil bergerak, pemerintah bisa memperoleh tambahan penerimaan. "Jadi bisa dikompensasi dengan itu," tuturnya. Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Potensi kehilangan BK Mineral capai Rp 5 triliun
JAKARTA. Setiap kebijakan yang dikeluarkan pemerintah mempunyai dua mata sisi, positif dan negatif. Begitu pula halnya dengan pelarangan ekspor mineral mentah atawa ore yang mempunyai dampak negatif menurunkan penerimaan negara dalam jangka pendek. Hingga bulan Maret 2014, belum ada penerimaan yang masuk ke kas negara dari sektor bea keluar mineral. Direktur Jenderal Bea dan Cukai Kementerian Keuangan Agung Kuswandono mengatakan sejak UU Minerba Nomor 4 Tahun 2009 berlaku 12 Januari kemarin, sama sekali tidak ada penerimaan dari ekspor bea keluar mineral. "Kalau dibilang drop, ya drop sekali," ujar Agung, Selasa (1/4). Menurutnya, porsi target penerimaan bea keluar setiap tahunnya dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) adalah sekitar Rp 5 triliun. Alhasil jika belum ada sama sekali bahan mineral mentah olahan yang diekspor maka target penerimaan bea keluar menjadi nihil. Memang untuk bisa mengekspor mineral mentah yang sudah diolah harus memperoleh izin ekspor terlebih dahulu dari Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM). Salah satu persyaratan dokumen yang harus dipenuhi adalah salinan kontrak jual beli produk hasil pemurnian dengan pembeli dari luar negeri. Mineral yang diekspor pun sudah harus melalui proses pengolahan dalam negeri. Ambil contoh, berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan (PMK) Nomor 6/PMK.011/2014, tembaga yang boleh diekspor adalah tembaga dengan konsentrat kadar lebih dari atau sama dengan 15%. Tarif bea keluar untuk tembaga ini adalah 25% hingga 30 Juni 2014. Naik secara bertahap hingga mencapai 60% sejak 1 Juli hingga 31 Desember 2016. Agung sendiri mengaku tidak terlalu mempermasalahkan nihilnya penerimaan dari sektor ini. Aturan pelarangan ekspor mineral mentah harus dilakukan dan harus diolah di dalam negeri agar mempunyai nilai tambah yang lebih tinggi. Akibatnya masyarakat mendapat pekerjaan baru dan sektor riil bergerak. Kalau sektor riil bergerak, pemerintah bisa memperoleh tambahan penerimaan. "Jadi bisa dikompensasi dengan itu," tuturnya. Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News