KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Prospek kenaikan mata uang Asia masih terbuka. Pemangkasan suku bunga the Fed menjadi faktor utamanya. Kepala Ekonom Bank Permata Josua Pardede mengatakan, penguatan mata uang Asia cukup terbuka hingga akhir tahun 2024 ini. Sebab, di semester II 2024 sejalan dengan potensi penurunan suku bunga Fed, yang pada umumnya berpotensi mendorong pelemahan dolar AS. Adapun tekanan yang terjadi pada mata uang Asia saat ini dikarenakan oleh faktor-faktor seperti data ekonomi AS yang solid. Para investor juga cenderung melihat bahwa pernyataan Fed cenderung
dovish pada rapat FOMC bulan Maret yang lalu.
Selain itu, pelemahan mata uang Asia pada umumnya juga dipengaruhi oleh keputusan bank sentral Tiongkok. PBoC kembali melemahkan
fixing Yuan beberapa waktu yang lalu di tengah ekspektasi pelonggaran kebijakan moneter PBoC.
Baca Juga: Rupiah Diprediksi Lanjut Melemah pada Selasa (26/3), Ini Penyebabnya Josua memperkirakan momentum dari apresiasi nilai tukar di kawasan Asia akan berada pada paruh kedua 2024. "Pemangkasan suku bunga bank sentral akan mendorong arus modal asing ke negara berkembang, termasuk negara-negara Asia," ujarnya kepada Kontan.co.id, Senin (25/3). Dari sejumlah mata uang Asia, Josua menilai rupee merupakan salah satu mata uang yang cenderung menarik. Ini sejalan dengan arah kebijakan Bank Sentral India, RBI, yang memiliki kecenderungan belum ada potensi pemotongan suku bunga. Sementara mata uang lainnya, seperti Korea Selatan, Malaysia, dan Thailand diperkirakan apresiasinya cenderung lebih terbatas. Sebab bank sentralnya mulai melihat ruang pemotongan suku bunga dalam waktu dekat. "Negara yang cenderung mulai melakukan pemotongan suku bunga bersamaan dengan para negara maju, diperkirakan cenderung terapresiasi lebih terbatas," katanya. Sedangkan potensi untuk yuan, pertumbuhan ekonomi Tiongkok masih dipenuhi ketidakpastian. Sehingga diperkirakan potensinya kenaikannya turut terbatas.
Senior Economist KB Valbury Sekuritas Fikri C. Permana juga menilai rupee menjadi salah satu mata uang yang menarik karena seiring ekspektasi pertumbuhan ekonomi di kisaran 8% YoY. Namun, ia juga mencermati prospek India yang akan memasuki tahun politik. "Sehingga untuk saat ini masih akan
wait and see terlebih dahulu," katanya.
Baca Juga: Kompak, Rupiah di Jisdor BI Melemah 0,14% ke Rp 15.795 Per Dolar AS Pada Senin (25/3) Fikri justru berpandangan yang paling menarik adalah rupee Pakistan dan rupee Srilanka karena tahun lalu keduanya mengalami tekanan yang cukup kuat akibat pertumbuhan ekonomi negatif. Bahkan, untuk Srilanka ada
default untuk
global bond-nya.
"Memang tidak akan bagus sekali, tetapi seiring dengan normalisasi ekonominya maka akan ada keuntungan dari mata uang mereka," jelasnya. Sementara mata uang negara maju di Asia, seperti Jepang, Fikri menilai ada sejumlah katalis yang membuat apresiasinya cenderung terbatas. Ia menyebutkan, memang ada hal positif setelah BOJ meningkatkan suku bunga acuan, tetapi sisi negatifnya inflasinya tinggi sehingga ada kekhawatiran inflasi lebih tinggi dibanding pertumbuhan ekonominya. Hal tersebut dinilai akan mengurangi minat terhadap pasar finansial Jepang. Selain itu juga BOJ sudah mengurangi pembelian
corporate bond dalam setahun ke depan dan tidak masuk lagi ke ETF. Lalu untuk China karena pemulihan ekonomi belum signifikan dan bank sentralnya masih menjaga diri agar tidak terjadi
bubble. Editor: Tendi Mahadi