Potensi Krisis Ekonomi Setelah Positif Korona



KONTAN.CO.ID - Ternyata kabar buruk itu datang juga bagi Indonesia!. Setelah sekian lama mengklaim aman, akhirnya, Indonesia menjadi salah satu negara yang juga mengalami serangan virus Korona (Covid-19). Ini setelah pernyataan resmi pemerintah bahwa ada dua pasien perempuan di Depok, Jawa Barat, yang terinfeksi virus yang telah menewaskan ribuan orang dan menjangkiti puluhan negara di seluruh dunia.

Tak pelak, ini menjadi satu hantaman telak bagi perekonomian Indonesia. Kunjungan wisatawan dalam sektor pariwisata jelas akan dibatasi dan dengan demikian penurunan tak bisa dihindari. Barang impor akan lebih diseleksi, hingga bisa saja menimbulkan kelangkaan sejumlah produk. Masyarakat pun akan mengerem kegiatan berbelanja di luar kebutuhannya yang pada gilirannya akan menurunkan konsumsi dan pertumbuhan ekonomi secara keseluruhan.

Headline harian KONTAN pada Sabtu (29/02/2020) lalu soal betapa virus Korona dan kasus gagal bayar Asuransi Jiwasraya adalah badai sempurna bagi perekonomian Indonesia jadi kian mencekam karena kemungkinan benar mewujud nyata. Bahkan, realisasi nubuat itu mungkin kian dekat jika kita membuka-buka literatur-literatur tentang krisis ekonomi.


Hilang kepercayaan

Dalam khazanah ilmu ekonomi, ada tiga generasi terkait teori krisis (A Prasetyantoko, Bencana Finansial, Penerbit Buku Kompas, 2008, hal. 139). Generasi pertama memahami krisis sebagai fenomena kesalahan manajemen ekonomi makro oleh pemerintah.

Generasi kedua memahami krisis sebagai bagian dari kepanikan para pemegang likuiditas. Sementara generasi ketiga yang terbaru memandang krisis dari segi keterkaitan antara sektor korporasi dan perbankan (sektor mikro) dengan sektor pemerintah dan dinamika makro ekonomi.

Generasi ketiga teori krisis tampak lebih baik karena meramu daya analisis dari dua generasi sebelumnya. Perwakilan utama dari generasi ketiga ini adalah Paul Krugman. Menurut Krugman dalam buku klasiknya The Return of Depression Economics (Pinguin, 1999), ada tiga faktor utama yang saling berkelindan dalam apa yang ia sebut sebagai lingkaran setan krisis (vicious circle of crisis): hilangnya kepercayaan dari para aktor perekonomian; anjloknya indikator-indikator makro-ekonomi; dan masalah-masalah finansial yang membelit perbankan, korporat, maupun rumahtangga. Krisis bisa terjadi dari mana saja di antara salah satu faktor tersebut untuk kemudian menggulirkan efek domino yang menjalar ke faktor lain dan memunculkan krisis.

Sebagai contoh, memburuknya indikator-indikator makro-ekonomi seperti nilai tukar, pertumbuhan ekonomi, neraca perdagangan, indeks harga saham gabungan (IHSG), dan lain sebagainya jelas akan memukul daya beli konsumen rumah tangga sekaligus menurunkan ekspektasi dan tingkat kepercayaan konsumen terhadap prospek ekonomi.

Selain itu, turunnya daya beli itu bisa merembet pada tidak mampunya debitur membayar utangnya kepada kreditur, biasanya bank sehingga terjadinya gagal bayar (default). Hal ini akan turut menyeret jatuhnya sektor perbankan. Karena sektor perbankan melemah, bank harus mengetatkan pemberian pinjaman yang pada gilirannya akan melemahkan daya beli konsumen plus menurunkan indikator makro-ekonomi seperti angka pertumbuhan ekonomi, dan demikian seterusnya bagaikan lingkaran setan.

Dalam konteks Indonesia saat ini sesudah era positif virus Korona, alarm nyaring terkait potensi krisis ekonomi harus mulai dibunyikan. Pasalnya, kasus Jiwasraya merupakan kasus yang bisa menurunkan tingkat kepercayaan konsumen terhadap sektor keuangan, termasuk sektor perbankan yang ikut andil memasarkan produk asuransi Jiwasraya tersebut.

Belum lagi, pemerintah saat ini terkesan kurang sigap dalam mengantisipasi kasus virus Korona. Hal ini terlihat dari santainya perwakilan pemerintah menghadapi potensi krisis Korona dengan mengatakan virus ini umumnya bisa sembuh dengan sendirinya.

Kekurangsigapan ini tentu menurunkan tingkat kepercayaan masyarakat terhadap pemerintah, sehingga mereka pun melakukan langkah antisipasi liar dengan menyerbu berbagai komoditas. Mulai dari masker danĀ hand sanitizerĀ demi mencegah tertular penyakit, barang kebutuhan pokok, sampai rempah-rempah tradisional seperti jahe merah, temulawak, dan kunyit untuk meningkatkan ketahanan tubuh. Jika dibiarkan, kondisi ini bisa menimbulkan kepanikan, spekulasi, aksi penimbunan, dan sebagainya yang bisa menimbulkan kepanikan pasar lebih tinggi lagi.

Di sisi lain, daya beli masyarakat masih terhajar oleh berbagai kenaikan tarif, seperti tarif tol dan iuran Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) Kesehatan, dan bersiap untuk kenaikan tarif-tarif lainnya yang simpang-siur isunya (kenaikan tarif energi misalnya).

Ketidakpastian terkait tarif dan harga ini tentu membuat masyarakat lebih memilih menahan uangnya dan mengerem konsumsi. Penahanan konsumsi ini jelas akhirnya akan memukul sektor usaha dan juga pertumbuhan ekonomi secara keseluruhan.

Potensi nyata

Untuk itu, potensi krisis ekonomi ini benar adanya, tapi kita tentu bisa berupaya untuk mencegahnya agar tak jadi nyata. Kembali merujuk Krugman, suatu negara bisa mencegah krisis dengan melakukan resep langkah-langkah berikut: mewujudkan kemudahan berusaha dan memperbaiki iklim usaha, mempertahankan kepercayaan pasar dan bisnis, meningkatkan program jaring pengaman sosial, menjaga tingkat suku bunga, memberikan kepastian hukum, dan menggiatkan edukasi publik.

Dalam bentuk kebijakan, bank sentral sudah berada di langkah yang tepat dengan menjaga tingkat suku bunga stabil dan bahkan menurunkannya. Namun, kita punya banyak pekerjaan rumah dari sektor yang lain. Soal kemudahan berusaha misalnya, masih banyak dikeluhkan para investor.

Kemudian, kepastian hukum dan penjagaan kepercayaan pasar saat ini tercoreng oleh lambannya penanganan kasus Jiwasraya, juga oleh banyak kritik para aktivis terhadap kinerja Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) akhir-akhir ini menyusul aturan baru Undang-Undang (UU) No 19 Tahun 2019 tentang KPK.

Edukasi publik pun terlihat belum optimal. Sampai saat ini, misalnya, belum ada SMS blast dari pemerintah terkait langkah-langkah pencegahan infeksi virus Korona.

Untuk itu, pemerintah harus bekerja lebih keras lagi untuk optimal menjalankan resep dari Krugman. Masih ada waktu karena indikator-indikator makro ekonomi memang masih aman, walau sudah menunjukkan tanda-tanda melemah. Namun, waktu yang tersedia ini harus dianggap sebagai lawan untuk kita berlomba, bukan sebagai teman yang justru membuat kita terlena.

Semoga Tuhan melindungi negeri ini!

Penulis : Satrio Wahono

Sosiolog dan Magister Filsafat Universitas Indonesia

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Editor: Ignatia Maria Sri Sayekti