KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Pemerintah memastikan akan menerapkan simplifikasi metode pemungutan pajak penghasilan pasal 21 atau PPh 21 orang pribadi mulai masa pajak Januari 2024. Dalam simplifikasi ini, Direktorat Jenderal Pajak (DJP) Kementerian Keuangan akan memberlakukan simplifikasi perhitungan tarif pemotongan PPh 21 untuk pegawai tetap, pegawai tidak tetap, bukan pegawai dan subjek lainnya antara lain dengan menggunakan format tarif efektif rata-rata (TER). Format tarif efektif ini dinilai akan memudahkan proses pemungutan pajak dan membuat kepastian bagi wajib pajak. Namun, tidak ada jaminan bahwa simplifikasi metode pemungutan PPh 21 tidak menimbulkan kelebihan bayar pajak, sesuatu yang selalu menjadi persoalan bertahun-tahun dan menjadi keluhan jutaan wajib pajak.
Baca Juga: Siap-Siap! Tarif Efektif Pajak Karyawan Mulai Berlaku Januari 2024 Maklum, pada kondisi kelebihan bayar pajak tersebut wajib pajak harus menanggung beban pemotongan pajak yang lebih besar pada periode tertentu. Sementara itu, tidak mudah bagi wajib pajak tersebut untuk mendapatkan pengembalian atas kelebihan bayar yang terjadi. Memang, DJP nantinya akan mengembalikan kelebihan pembayaran pajak tersebut melalui proses restitusi. Namun, bukan rahasia lagi, proses restitusi membutuhkan waktu dan prosesnya tidak sederhana. Selain itu, wajib pajak yang meminta pengembalian kelebihan pembayaran juga mesti siap diperiksa. Direktur Eksekutif Pratama-Kreston Tax Research Institute (TRI) Prianto Budi Saptono menilai, seyogyanya pemerintah mempertimbangkan asas keadilan dalam rencana kebijakan baru ini. “Ketika satu asas pajak digunakan, misalnya simplicity, asas lainnya terkadang terabaikan. Di contoh ini,
simplicity yang digunakan dapat mengakibatkan asas keadilan terabaikan. Sebagai akibatnya, beban PPh 21 akan lebih besar bagi artis, penyanyi, agen-agen properti, agen asuransi,” kata Prianto Budi Saptono dalm keterangannya, Jumat (1/12).
Baca Juga: Penerimaan Pajak Oktober 2023 Terangkat Berkat Konsumsi Masyarakat Sebelumnya, Direktur Jenderal Pajak Suryo Utomo menyatakan, melalui simplifikasi ini, pemotong atau pemungut pajak tidak akan lagi kesulitan menghitung PPh 21 karyawannya. Sebab, format TER akan membuat proses pemotongan lebih mudah dan simpel serta akan memberikan kepastian kepada wajib pajak. Suryo juga menegaskan, DJP sudah memikirkan cara agar tarif efektif PPh 21 ini tidak akan menimbulkan kurang bayar maupun lebih bayar bagi wajib pajak yang dipotong. Nantinya, seluruh PPh 21 yang telah dipotong pada setiap masa pajak sepanjang satu tahun akan diperhitungkan kembali pada akhir tahun. "Dari penghitungan inilah sebetulnya akan kelihatan kurang atau lebih bayar. Sehingga di final pelaporan akhirnya, ujung pajak yang terutang diharapkan tidak terjadi kelebihan atau kekurangan pembayaran. Jadi betul-betul jumlah yang dibayarkan tidak berbeda dengan kondisi saat ini,” jelasnya di Jakarta, pekan lalu. Suryo mengatakan, peraturan tarif efektif pajak itu akan segera ditandatangani dan diterbitkan. Namun aturan turunan dalam bentuk Peraturan Menteri Keuangan (PMK) terkait dengan implementasi tarif efektif pajak masih dipersiapkan, kata Suryo. Hingga saat ini belum ada dokumen resmi soal perhitungan simplifikasi pemotongan PPh Pasal 21 yang dirilis DJP.
Baca Juga: Pajak dan Inflasi Pangan Menggerus Kenaikan UMP Namun berdasarkan dokumen presentasi DJP dalam Kuliah Umum PKN STAN beberapa waktu lalu terungkap, simplifikasi metode pemotongan PPh 21 akan menyatukan kelompok wajib pajak bukan pegawai yang selama ini dibagi menjadi tiga. Nantinya, tarif yang berlaku untuk kelompok wajib pajak bukan pegawai sama, yakni tarif pajak penghasilan Pasal 17 x (penghasilan bruto x 50%). Tarif baru ini menghilangkan Penghasilan Tidak Kena Pajak (PTKP) bagi kelompok wajib pajak bukan pegawai berpenghasilan berkesinambungan yang memiliki NPWP dan hanya memperoleh penghasilan dari hubungan kerja dengan satu pemberi kerja. Bagi wajib pajak dengan status bukan pegawai (terutama yang berpenghasilan di bawah PTKP) sudah hampir pasti terdapat kelebihan bayar.
Kelebihan bayar ini dapat terjadi karena dengan dihapusnya PTKP dari mekanisme pemotongan PPh Pasal 21, maka penghasilan sekecil apapun harus dipotong pajak. Kemudian PTKP tersebut baru dapat diperhitungkan oleh wajib pajak bukan pegawai pada saat pelaporan SPT Tahunan Orang Pribadi. Dengan demikian, wajib pajak harus mengajukan restitusi untuk mendapatkan pengembalian atas kelebihan bayar tersebut. Itu artinya, wajib pajak bukan pegawai yang masuk ke dalam kelompok tersebut seperti dokter, notaris, seniman, dan berbagai jenis pekerja informal berpotensi dipotong pajak lebih besar terlebih dahulu akibat penerapan skema tarif baru. Ini tentu saja ini dinilai menimbulkan rasa ketidakadilan bagi mereka. Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News Editor: Yudho Winarto