Potensi maraknya popok batita milenial



Anak di bawah tiga tahun (batita) milenial identik dengan popok sekali pakai (open diapers atau diaper pants). Popok adalah internet mereka dalam menjawab simptom modern yakni hidup harus semakin mudah dan mobile. Beragam tingkat, bentuk dan ukuran kemudahan semua hal terus diciptakan. Termasuk memudahkan si kecil bergerak tanpa terusik oleh sinyal kedatangan si anu (pup) dan si basah pengganggu (pis) karena semua diunduh dengan cepat, terserap, mudah, praktis. Orangtua dan pengasuh tertolong, industri-pedagang popok mengipaskan uang sambil bergumam laris, laris.

Pertumbuhan dan penjualan popok dunia masih didominasi Amerika Serikat (34%), Asia Pasifik (23%), Amerika Latin (21%), Eropa 17% dan Afrika (6%) (Nielsen, 2014). Indonesia pernah mengalami booming "emas putih empuk" ini dengan pertumbuhan hingga 26,2%. Kelahiran bayi milenial di atas 4 juta per tahun mendorong pasar popok bergairah. Itu pun belum semua bayi Nusantara terpapar "popokisasi", baru 35% terutama di perkotaan. Bandingkan dengan Jepang sudah 100%.

Kebutuhan popok dari bayi lahir hingga usia satu bulan mencapai 10-12 popok per hari, 1–5 bulan butuh 8-10 popok per hari, usia 5–9 bulan 8 popok/hari dan usia 9–12 bulan memerlukan 8 popok/hari. Hingga usia satu tahun anak membutuhkan popok rata-rata 2.880 sampai 3.500 popok. Jika anak berpopok hingga usia tiga tahun (batita), sungguh kebutuhan yang menggiurkan.


Di Amerika Serikat (AS) hingga tahun 1950 urusan pemakaian popok hanya sampai usia 18 bulan. Sesudahnya memakai toilet duduk anak (potty). Namun sejak 2001 rata-rata pemakaian potty malah mundur hingga usia 35 bulan (perempuan) dan 39 bulan (laki-laki). Banyak juga orang tua membiasakan anak memakai potty pada usia 3, 4 dan 5 tahun. Apa artinya? Semakin maju usia anak memakai popok maka permintaan popok akan meningkat. Popok menjadi kepercayaan diri anak juga ibunya. Otomatis kebutuhan meningkat dan produksi popok bergerak. Papan selancar batita milenial, ya diapers itu. Ini belum lagi tren ibu milenial yang bekerja dan menyerahkan buah hati mereka pada pengasuh.

Batita urban memiliki mobilitas yang lebih tinggi dibanding sebayanya di desa. Meski aktivitas itu karena orangtuanya, mengakibatkan pemakaian popok saat perjalanan juga tinggi. Asupan makanan batita yang semakin beragam, penyakit usia dini memberikan risiko siklus buang air besar-kecil semakin sering. Frekuensi buang air memang bisa dimaknai sebagai ukuran kesehatan dan semua itu bermuara pada pemakaian popok.

London School of Hygiene & Tropical Medicine menemukan rata-rata waktu tinggal di rumah sakit ibu melahirkan normal antara 1 hingga 6 hari. Ibu yang melahirkan lewat operasi caesar butuh 3 hingga 9 hari. Lamanya ibu tinggal ini mempengaruhi penanganan si kecil oleh perawat dan meningkatkan kebutuhan popok.

Prospek dan tantangan

Popok sekali pakai terus berkembang dengan kemajuannya yang di Eropa telah dipakai hampir 90% keluarga. Pada beberapa toko online beragam merek popok jenis, ukuran, harga kini menjadi pilihan. Penetrasi popok di warung dalam bentuk satuan hemat juga bisa diakses konsumen.

Pemain popok nasional terus bertambah baik perusahaan dan line produksinya sebagai respon kebutuhan popok. Perusahaan besar seperti tersihir memproduksi dan mendistribusikan merek unggulan. Ini karena sifat produk ini tidak bisa ditahan dan selalu diusahakan untuk dipenuhi.

Popok menduduki urutan kedua setelah susu bubuk dalam anggaran belanja. Sifat produk popok yang seperti ini menguntungkan karena menuntut harus tersedia, mutlak diperlukan dan dianggarkan. Jargon buat anak sendiri kenapa tidak? dan siapa sih yang mau anaknya jorok mendorong popokisasi.

Bahan bakunya pun semakin baik seperti dominan fluff pulp, superabsorber, nonwoven dan materi lain. Manfaatnya juga memenuhi unsur healthy, comfortable, convenient, hygenic. Pasar popok cukup besar mencapai Rp 13 triliun dan angka ini dinamis meningkat melihat jumlah kelahiran bayi 4 juta pertahun. Bonus demografi menciptakan kelas usia produktif milenial, mendorong gaya hidup berpopok buah hati mereka.

Namun di balik prospek itu industri popok perlu mengantisipasi beberapa ganjalan seperti temuan bahwa popok memutus relasi psikis anak dalam proses pembelajaran kesadaran dan sensasi terhadap siklus buang air kecil-besar. Beberapa temuan juga mengatakan popok membuat anak lebih lambat berjalan, problem kejiwaan seperti kecemasan anak dan kegagalan mengantisipasi siklus buang air di TK. Setiap hari guru menemukan kasus kedatangan dan kebasahan. Juga soal kesehatan seperti iritasi kulit terkait alergi bahan popok.

Tantangan lain terkait dengan pemangku kepentingan industri ini yakni soal extended producer responsibility di UU No. 18/2008 tentang pengelolaan sampah. Produsen bertanggung jawab terhadap sampah yang dihasilkan oleh produksinya. Soal sampah popok sudah menjadi isu umum yang tak bisa ditutupi, tetapi harus disikapi sejak dini. Seperti laporan Bank Dunia (2017) sampah popok menempati urutan kedua terbanyak di laut.

Sebanyak 3 miliar popok dibuang setiap tahun di AS dan Inggris, 2 miliar di Australia. Di Indonesia laporan sampah popok di sungai utama seperti kali Brantas (Ecoton) juga ditemukan, belum di sungai-sungai lain. Materi dan bahan pembuat popok seperti super absorbent polymer konon mempengaruhi ekosistem dan fauna sungai. Sebaliknya muncul popok yang bisa dipakai cuci ulang dan daur ulang sampah popok sebagai kompos, langkah bijak dan positif.

Industri yang baik akan menjadikan isu seperti ini inheren dari keberadaannya. Industri bertujuan sustainability baik pada dirinya pun pihak terkait sebagai pemangku kepentingan. Konsumen yang merasakan manfaat popok, membeli dan memakainya juga harus dihindarkan dari dampak buruk saat dan pasca pemakaian. Upaya ini bertujuan agar industri mendapat respon positif sebagai balasannya karena melindungi pemangku kepentingan.

Tak bisa disangkal dan belum tergantikan popok memang menjawab sindrom mudah dan praktis pada proses penanganan batita milenial. Sinyalir buruk ihwal popok yang mungkin timbul pada lingkungan harus dicarikan solusi. Industri popok bukan hanya bertumbuh tapi juga berinovasi agar lebih ramah terhadap perkembangan kejiwaan dan kesehatan anak serta kelestarian lingkungan.

Stevanus Subagijo Peneliti Center for National Urgency Studies Jakarta

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Editor: Tri Adi