KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Perampingan pemain operator telekomunikasi akan menjadi katalis positif bagi industri telekomunikasi di Indonesia. Konsolidasi industri telekomunikasi akan memperkuat persaingan menjadi lebih sehat dan dapat mendongkrak kinerja para emiten. Head of Research Mirae Asset Sekuritas Robertus Hardy memproyeksikan, operator telekomunikasi akan semakin ramping menjadi tiga bahkan dua operator. Menurut dia, industri telekomunikasi akan lebih efektif. "Seharusnya konsolidasi antar operator harus dipercepat sehingga persaingannya tidak begitu besar, pendapatan tinggi, dan pembayaran dividen juga lebih besar," kata dia saat ditemui Kontan.co.id, Rabu (24/1).
Adapun konsolidasi operator telah dimulai sejak merger PT XL Axiata Tbk (EXCL) dengan PT Axis Telekom Indonesia pada 2014. Menyusul terjadi konsolidasi antara PT Indosat Tbk (ISAT) dengan Hutchison 3 Indonesia pada 2022. Baca Juga: Kinerja Emiten Telekomunikasi Diprediksi Terus Meningkat, Ini Saham Jagoan Analis Para analis sepakat usai penggabungan Indosat Ooredoo Hutchison (IOH), industri telekomunikasi menjadi lebih sehat. Ini tercermin dari peningkat Pendapatan Rata-Rata Per Pengguna (ARPU) masing-masing emiten. Ambil contoh, ARPU anak usaha PT Telkom Indonesia Tbk (TLKM), yakni Telkomsel meningkat 8% per kuartal III-2023. Pada periode yang sama, ARPU IOH dan XL Axiata masing-masing tumbuh 3% dan 5%. Robertus menyebut konsolidasi yang mungkin terjadi adalah penggabungan XL Axiata dengan PT Smartfren Telecom Tbk (FREN). Merger kedua emiten akan menjadi angin segar dan katalis bagi industri telekomunikasi dalam negeri. Baca Juga: Smartfren (FREN) Incar Dana Jumbo Rp 8,57 Triliun Lewat Rights Issue Setali tiga uang, Research Analyst BRI Danareksa Sekuritas Niko Margaronis memproyeksikan potensi merger antara operator ketiga dan keempat di Indonesia akan meningkatkan skala dan profitabilitas industri serta menurunkan intensitas persaingan. Nico mencermati, perusahaan yang melakukan merger perlu mengambil langkah-langkah untuk mengurangi kelebihan utang secara mandiri. Terlebih, FREN masih harus menanggung beban utang yang besar. Adapun rasio utang bersih terhadap EBITDA tahunan FREN di kisaran 5 kali. "Cara tercepat bagi Smartfren untuk melakukan deleverage melalui peningkatan modal saham," imbuh Nico. Teranyar, FREN mengumumkan rencana rights issue alias penambahan modal dengan memberikan hak memesan efek terlebih dahulu (PMHMETD) dengan menerbitkan 171,45 miliar saham. Melansir keterbukaan informasi, Rabu (24/1), FREN akan menawarkan rights issue dengan harga penawaran Rp 50 per saham. Dus, FREN bakal memperoleh dana segar Rp 8,57 triliun. Rencananya sekitar Rp 5,47 triliun dari dana rights issue akan digunakan untuk pembayaran utang dan bunga pinjaman FREN. Kemudian sisanya akan digunakan untuk modal kerja FREN maupun entitas anak usaha. Baca Juga: Nilai Transaksi Dompet Digital Meningkat Dua Digit