KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) buka suara soal potensi pemangkasan kuota produksi bijih nikel tahun depan. Sebelumnya, dalam laporan Bloomberg, Kamis (19/12) Indonesia berencana menekan jumlah bijih nikel yang ditambang sebanyak 150 juta ton saja untuk tahun depan, atau turun sebesar 44,85% dibandingkan produksi tahun ini yang sebesar 272 juta ton. Direktur Pembinaan Program Mineral dan Batu Bara Kementerian ESDM Julian Ambassadurr Shiddiq mengatakan bahwa hingga saat ini belum ada arahan dari Presiden Prabowo Subianto maupun dari Menteri ESDM, Bahlil Lahadia terkait pemangkasan kapasitas produksi tahun 2025. Baca Juga: Harga Komoditas Mineral Batubara Lesu, Satu-Satu Korporasi Tumbang "Sampai sekarang belum ada arahan ataupun penetapan kebijakan pengurangan kuota bijih nikel dari Presiden atau Menteri ESDM," kata Julian saat dikonfirmasi Kontan, Minggu (26/12). Hal senada juga disampaikan oleh Pelaksana Tugas (Plt.) Direktur Pembinaan Pengusahaan Mineral Siti Sumilah Rita Susilawati. Menurutnya hingga saat ini ESDM masih melakukan evaluasi sebelum memutuskan adanya pemangkasan tahun depan. "Masih dievaluasi ya," jawabnya singkat. Dirjen Mineral dan Batu Bara (Minerba) Kementerian ESDM Tri Winarno pun mengungkap hal yang sama. Menurutnya, pembahasan ke arah pemangkasan kapasitas produksi nikel belum dilakukan. "Sampai sekarang belum ada pembahasan tersebut. Kalau tujuannya pemangkasan, belum ya," katanya. Sebenarnya, jauh sebelum itu, pemangkasan kapasitas produksi nikel Indonesia telah dilaporkan oleh Eramet, perusahaan pengelola nikel asal Perancis yang memiliki operasi di Weda Bay, Maluku Utara. CEO Eramet Indonesia, Jerome Baudelet mengatakan, langkah ini dilakukan pemerintah Indonesia untuk mempertahankan harga bijih nikel yang baik di pasaran sekaligus melindungi penambang skala kecil. "Mereka (pemerintah Indonesia) ingin mempertahankan harga bijih yang baik di pasaran," kata Jerome Baudelet, dalam sebuah wawancara di Jakarta dengan Bloomberg, Kamis (21/11). "Mereka ingin melindungi penambang kecil lokal," tambah Jerome. Asal tahu saja, harga bijih nikel di pasar global salah satunya dipengaruhi oleh produksi Indonesia. Sebab, berdasarkan data dari ESDM, tahun ini Indonesia telah menguasai 45% dari total cadangan nikel di dunia. Adapun terkait ini, Ketua Indonesia Mining & Energy Forum (IMEF), Singgih Widagdo menyebut bahwa hal ini harusnya bisa mendorong Indonesia sebagai price maker dalam harga nikel dunia. Indonesia tambahnya, harus bisa mengontrol agar produksi nikel tidak masuk dalam tahap oversupplay yang justru akan menekan harga di pasar global. "Volume produksi memang semestinya harus seimbang dengan demand global. Bagaimanapun, over supply justru akan menekan harga," katanya saat dihubungi Kontan, Minggu (26/12). Dia juga meminta agar Kementerian Perindustrian (Kemenperin) untuk bisa memperluas demand dalam negeri karena fluktuasi harga lebih rendah terjadi pada produk jadi atau fabrikasi. "Harus dicatat, price volatile lebih besar terjadi pada tahap pemurnian, dibandingkan fabrikasi yang sangat less volatile," katanya. "Sehingga menurunkan produksi harus diarahkan untuk mengelola harga dan sekaligus memperpanjang rasio umur produksi. Ini sambil menunggu seberapa besar demand produksi di dalam negeri meningkat, sehingga sangat optimal bagi investasi, pajak, hingga serapan tenaga kerja," jelasnya. Baca Juga: Kinerja Industri Batubara 2024 Terbebani Kewajiban Tarif Royalti, DHE hingga DMO Potensi Pemangkasan Volume Produksi Nikel di Tengah Kebutuhan untuk Smelter
Potensi Pemangkasan Produksi Bijih Nikel: Antara Keseimbangan Harga dan Kebutuhan
KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) buka suara soal potensi pemangkasan kuota produksi bijih nikel tahun depan. Sebelumnya, dalam laporan Bloomberg, Kamis (19/12) Indonesia berencana menekan jumlah bijih nikel yang ditambang sebanyak 150 juta ton saja untuk tahun depan, atau turun sebesar 44,85% dibandingkan produksi tahun ini yang sebesar 272 juta ton. Direktur Pembinaan Program Mineral dan Batu Bara Kementerian ESDM Julian Ambassadurr Shiddiq mengatakan bahwa hingga saat ini belum ada arahan dari Presiden Prabowo Subianto maupun dari Menteri ESDM, Bahlil Lahadia terkait pemangkasan kapasitas produksi tahun 2025. Baca Juga: Harga Komoditas Mineral Batubara Lesu, Satu-Satu Korporasi Tumbang "Sampai sekarang belum ada arahan ataupun penetapan kebijakan pengurangan kuota bijih nikel dari Presiden atau Menteri ESDM," kata Julian saat dikonfirmasi Kontan, Minggu (26/12). Hal senada juga disampaikan oleh Pelaksana Tugas (Plt.) Direktur Pembinaan Pengusahaan Mineral Siti Sumilah Rita Susilawati. Menurutnya hingga saat ini ESDM masih melakukan evaluasi sebelum memutuskan adanya pemangkasan tahun depan. "Masih dievaluasi ya," jawabnya singkat. Dirjen Mineral dan Batu Bara (Minerba) Kementerian ESDM Tri Winarno pun mengungkap hal yang sama. Menurutnya, pembahasan ke arah pemangkasan kapasitas produksi nikel belum dilakukan. "Sampai sekarang belum ada pembahasan tersebut. Kalau tujuannya pemangkasan, belum ya," katanya. Sebenarnya, jauh sebelum itu, pemangkasan kapasitas produksi nikel Indonesia telah dilaporkan oleh Eramet, perusahaan pengelola nikel asal Perancis yang memiliki operasi di Weda Bay, Maluku Utara. CEO Eramet Indonesia, Jerome Baudelet mengatakan, langkah ini dilakukan pemerintah Indonesia untuk mempertahankan harga bijih nikel yang baik di pasaran sekaligus melindungi penambang skala kecil. "Mereka (pemerintah Indonesia) ingin mempertahankan harga bijih yang baik di pasaran," kata Jerome Baudelet, dalam sebuah wawancara di Jakarta dengan Bloomberg, Kamis (21/11). "Mereka ingin melindungi penambang kecil lokal," tambah Jerome. Asal tahu saja, harga bijih nikel di pasar global salah satunya dipengaruhi oleh produksi Indonesia. Sebab, berdasarkan data dari ESDM, tahun ini Indonesia telah menguasai 45% dari total cadangan nikel di dunia. Adapun terkait ini, Ketua Indonesia Mining & Energy Forum (IMEF), Singgih Widagdo menyebut bahwa hal ini harusnya bisa mendorong Indonesia sebagai price maker dalam harga nikel dunia. Indonesia tambahnya, harus bisa mengontrol agar produksi nikel tidak masuk dalam tahap oversupplay yang justru akan menekan harga di pasar global. "Volume produksi memang semestinya harus seimbang dengan demand global. Bagaimanapun, over supply justru akan menekan harga," katanya saat dihubungi Kontan, Minggu (26/12). Dia juga meminta agar Kementerian Perindustrian (Kemenperin) untuk bisa memperluas demand dalam negeri karena fluktuasi harga lebih rendah terjadi pada produk jadi atau fabrikasi. "Harus dicatat, price volatile lebih besar terjadi pada tahap pemurnian, dibandingkan fabrikasi yang sangat less volatile," katanya. "Sehingga menurunkan produksi harus diarahkan untuk mengelola harga dan sekaligus memperpanjang rasio umur produksi. Ini sambil menunggu seberapa besar demand produksi di dalam negeri meningkat, sehingga sangat optimal bagi investasi, pajak, hingga serapan tenaga kerja," jelasnya. Baca Juga: Kinerja Industri Batubara 2024 Terbebani Kewajiban Tarif Royalti, DHE hingga DMO Potensi Pemangkasan Volume Produksi Nikel di Tengah Kebutuhan untuk Smelter