KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Potensi penerimaan pajak dari kelompok masyarakat berpenghasilan tinggi atau
High Wealth Individual (HWI) dinilai masih cukup besar. Direktur Eksekutif MUC Tax Research Wahyu Nuryanto mengatakan salah satu indikator potensi penerimaan pajak dari Kelompok HWI ialah, masih rendahnya rasio kepatuhan pelaporan SPT Tahunan atau kepatuhan formal dari Wajib Pajak Orang Pribadi (WP OP) Non karyawan termasuk di dalamnya adalah kelompok HWI. Ia mengutip data Direktorat Jenderal Pajak (DJP) yang melaporkan, rasio kepatuhan WP OP Non karyawan pada tahun 2022 hanya 69,11%, lebih rendah dibanding kepatuhan formal WP OP Karyawan yang sebesar 93,71%.
"Meskipun ini hanya menunjukkan angka kepatuhan formal, tetapi kurang lebih bisa dijadikan gambaran kepatuhan materialnya, kata Wahyu kepada Kontan, Selasa (4/6). Wahyu juga melihat bahwa pertumbuhan jumlah orang berpenghasilan tinggi semakin meningkat di Indonesia. Ia merujuk data dalam laporan
Knight Frank yang berjudul
The Wealth Report 2024. Laporan itu mengungkapkan penduduk Indonesia yang memiliki kekayaan di atas US$ 30 juta pada tahun 2023 tercatat sebanyak 1.479 orang. Jumlah ini naik 4,2% dari tahun 2022 dan diprediksi akan naik kembali sebesar 34,1% pada tahun 2028. Baca Juga:
Pengawasan Kepatuhan Wajib Pajak HWI Dinilai Belum Optimal, Ini Penyebabnya "Dengan potensi pertumbuhan jumlah orang kaya di Indonesia, maka pemerintah perlu menyiapkan instrumen perpajakan agar bisa mengoptimalkan penerimaan pajak dari HWI," ucapnya. Selain itu, dirinya melihat ada sejumlah langkah yang bisa dioptimalkan pemerintah dalam mengejar penerimaan pajak dari HWI.
Pertama, mengoptimalkan kebijakan pemajakan atas natura atau kenikmatan yang diberlakukan mulai tahun lalu. Dengan menetapkan natura sebagai objek pajak, maka pemberian fasilitas perusahaan kepada pemegang saham atau pejabat perusahaan bisa ditetapkan sebagai penghasilan. "Karena pada faktanya itu memang menambah kemampuan ekonomi mereka," ujarnya. Selain itu, pemerintah juga sebetulnya telah mengeluarkan kebijakan terkait penambahan lapisan penghasilan kena pajak untuk nilai di atas Rp 5 miliar dikenakan Pajak Penghasilan (PPh) dengan tarif 35%.
Kedua, pemerintah bisa mempertimbangkan untuk mengubah kebijakan pajak atas warisan. "Di beberapa negara warisan juga menjadi objek pajak, berbeda dengan Indonesia yang menetapkan warisan bukan sebagai objek pajak," terangnya. Bahkan di beberapa negara hal itu tidak terbatas pada warisan saja, tetapi mencakup juga dengan pemberian harta kekayaan biasa (hibah) atau
The Inheritance and Gift Tax. Hanya saja, kebijakan ini dinilai akan mendapat resistensi yang cukup besar. Sehingga perlu upaya yang luar biasa dari pemerintah untuk merealisasikannya. Salah satu langkah yang bisa diambil misalnya menetapkan hanya warisan dan hibah yang melebihi jumlah tertentu yang menjadi objek pajak.
Di samping itu, pemadanan Nomor Induk Kependudukan (NIK) dengan Nomor Pokok Wajib Pajak (NPWP) diharapkan bisa mempermudah DJP dalam melakukan pengawasan. Artinya harus berdasarkan sistem. "Memang tidak mudah untuk melakukan pengawasan kepada kelompok HWI ini, karena kelompok ini memang memiliki kemampuan untuk melakukan
tax planning yang canggih," tuturnya. Untuk mengantisipasinya, otoritas pajak bisa mengoptimalkan fasilitas pertukaran informasi keuangan dengan negara lain (AEOI/Automatic Exchange of Information). Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News Editor: Anna Suci Perwitasari