Potensi wirausaha digital perempuan



Dinamika ekonomi mutakhir seperti perkembangan ekonomi digital dewasa ini, sejatinya, membuka peluang peningkatan partisipasi kaum perempuan dalam dunia kerja melalui wirausaha digital. Wirausaha perempuan dapat memanfaatkan transformasi digital baik sebagai kreator maupun penerima manfaat (beneficiary).

Kewirausahaan (entrepreneurship) digital perempuan menawarkan fleksibilitas antara pekerjaan dan urusan rumah tangga. Perempuan menjadi wirausaha juga acap dinilai sebagai solusi dari diskriminasi dan ketidakpuasan kaum perempuan terhadap dunia kerja reguler (Heilman dan Chen, 2003).

Selain itu, peluang laki-laki dan perempuan setara dalam digital entrepreneurship. Namun, berbagai kendala sosial, normatif, dan tingkat pendidikan ditengarai menjadi batu sandungan bagi keterlibatan lebih besar kaum perempuan dalam wirausaha digital termasuk aktivitas jual beli secara elektronik (e-commerce).


Sebagai contoh, jumlah wanita tercatat lebih dari 52% dari populasi Eropa tetapi hanya 34,4% dari para wirausaha di Uni Eropa yang berjenis kelamin perempuan. Faktanya, kesenjangan ini justru meningkat dengan digitalisasi ekonomi. Menurut laporan Komisi Uni Eropa, ketimpangan meningkat terlihat dari jumlah perempuan yang kurang terwakili di semua sektor ekonomi digital.

Persentase laki-laki bekerja di industri digital tiga kali lebih besar dibanding perempuan. Jumlah perempuan hanya mencapai 21,5% dari seluruh pekerja ekonomi digital pada tahun 2015.

Laporan tersebut menggarisbawahi bahwa pendidikan merupakan isu utama. Hanya 24 dari 1.000 sarjana perempuan lulusan fakultas terkait teknologi informasi dan dari angka tersebut hanya 6% yang bekerja di sektor digital.

Di Indonesia, perempuan identik dengan bisnis usaha mikro, kecil, dan menengah (UMKM). Dari 58 juta UMKM, 60% di antaranya adalah kontribusi kaum hawa. UMKM menyerap tenaga kerja sekitar 114 juta orang atau 97% dari total angkatan kerja.

Meningkatkan daya saing dan produktivitas UMKM melalui sistem perdagangan dalam jaringan atau daring berpotensi meningkatkan ekonomi dan kesejahtaraan masyarakat. Produk UMKM seperti kerajinan tangan, mebel, makanan, dan hortikultura berpeluang menembus pasar ekspor melalui sistem jual beli daring (online).

Dalam tiga tahun terakhir, nilai transaksi e-commerce di tanah air melambung tinggi. Menurut Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kominfo), pada tahun 2015, nilai transaksi baru mencapai US$ 13 miliar, namun pada 2020 nanti nilai transaksi e-commerce diprediksi akan mencapai US$ 130 miliar. Artinya, nilai transaksi jual beli daring tumbuh 10 kali lipat hanya dalam jangka waktu lima tahun.

Kendati e-commerce membuka peluang, terutama bagi UMKM dan wirausahawan baru, tidak serta merta mereka dapat menangguk untung dalam platform digital dalam jaringan tersebut.

Setidaknya ada tiga alasan mengapa perempuan mengalami kesulitan terjun dalam bisnis perdagangan daring, yakni tingkat literasi digital, akses modal, dan bias gender. Kesulitan permodalan terkait dengan rendahnya inklusi keuangan kaum perempuan, sedangkan bias gender merujuk pada rendahnya kepercayaan masyarakat terhadap kemampuan teknis perempuan dalam dunia teknologi informasi (IT).

Meskipun tersedia peluang yang sama bagi laki-laki dan perempuan dalam memanfaatkan platform e-commerce dan akses layanan digital lainnya, jalan terjal dan panjang masih membentang bagi kaum perempuan untuk mengejar ketertinggalan. Menurut Suwana (2017) ada beberapa alasan mengapa literasi digital perempuan Indonesia lemah, yakni latar belakang pendidikan rendah, kurang mahir, fasilitas tidak memadai, pelatihan minim, dan pengaruh budaya patriarki.

Peningkatan literasi digital dipercaya bakal meningkatkan produktivitas, memperluas akses pasar, dan pertumbuhan usaha. Studi UNHLP (2016) memaparkan, secara global, akses internet antara laki-laki dan perempuan ada ketimpangan sebesar 23% dan ketimpangan peluang memiliki telepon genggam sebesar 14%.

Mereduksi ketimpangan digital merupakan agenda penting para pengambil kebijakan karena pemanfaatan platform digital berkorelasi dengan pertumbuhan bisnis UMKM perempuan di beberapa negara berkembang (Ilavarasan dan Levy, 2010).

Untuk menuju ke sana, hal pertama yang perlu mendapat prioritas adalah memberikan lokakarya dan pelatihan. Banyak perempuan yang tidak bisa mengadopsi teknologi dalam bisnis lantaran kurangnya pemahaman. Pemberian pelatihan aplikasi bisnis dapat menunjang keberhasilan bisnis mereka.

Aneka pelatihan yang pernah dilakukan di Indonesia acap kali kurang optimal karena gagal memilih peserta dengan benar.

Menurut penelitian Bank Dunia dan Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas) (2016) berjudul "Women Entrepreneurs in Indonesia: A Pathway to Increasing Shared Prosperity", program dan kebijakan yang dilaksanakan tersebut gagal, karena rancangan yang berbasis kegiatan pengentasan kemiskinan dan diperuntukkan bagi semua golongan wirausaha perempuan tanpa ada seleksi.

Data Bank Dunia mengungkapkan, pelatihan sesuai segmentasi usaha sangat penting, untuk menelurkan hasil memuaskan sesuai kebutuhan individual. Ada dua tipologi yang disarankan yakni wirausaha perempuan "berorientasi pertumbuhan (growth-oriented)" dan "berorientasi kebutuhan (necessity)".

Tipologi pertama bertujuan mengembangkan usaha karena memang memiliki potensi dan kemampuan, sedangkan tipologi kedua lebih kepada berwirausaha karena tidak ada alternatif pilihan lain sehingga amat sulit mengembangkan usaha.

Dua tipologi tersebut memerlukan bentuk pelatihan dan dukungan yang berbeda. Mereka yang tergolong wirausaha "terpaksa", dukungan melalui program pengentasan kemiskinan dianggap sudah mencukupi. Namun, mereka yang berorientasi pertumbuhan memerlukan pelatihan khusus pengembangan usaha. Studi ini menemukan bahwa 15% wirausaha perempuan Indonesia dapat digolongkan dalam pengusaha berorientasi pertumbuhan.

Meskipun kecil kemungkinannya untuk menghilangkan kesenjangan digital, meningkatkan konektivitas akan berkontribusi mengurangi kesenjangan tersebut. Pembangunan infrastruktur teknologi informasi kawasan perdesaan menjadi pekerjaan rumah yang harus segera dituntaskan. Sebuah penelitian menyebutkan bahwa setiap 10% pembukaan akses internet broadband berpotensi meningkatkan pertumbuhan ekonomi 1,38% (ITU dan UNESCO, 2013).

Keterlibatan pihak swasta diperlukan untuk membantu percepatan pembangunan jaringan pita lebar. Ketersediaan infrastruktur berbasis internet dan fasilitas teknologi informasi akan mendukung pemasaran serta mengembangkan jejaring bisnis para pelaku usaha mikro-menengah, terutama di daerah pedesaan.♦

Arif Budi Rahman Peneliti Badan Kebijakan Fiskal Kementerian Keuangan

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Editor: Tri Adi