PP fasilitas pajak migas diteken presiden



JAKARTA. Akhirnya, Presiden Joko Widodo meneken juga Peraturan Pemerintah (PP) No. 27/ 2017. Beleid ini merupakan revisi PP No.89/2010 tentang Biaya Operasi yang Dapat Dikembalikan dan Perlakuan Pajak Penghasilan di Bidang Usaha Hulu Minyak dan Gas Bumi.

Sekretaris Direktorat Jenderal Minyak dan Gas Bumi Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Susyanto menjelaskan, PP No. 27/2017 itu hanya berlaku untuk kontrak dengan sistem production sharing contract (PSC) dengan menggunakan cost recovery. "PP No. 27/2017 pengganti PP No. 79/2010. Jadi hanya untuk PSC cost recovery," tukas Susyanto kepada KONTAN, Selasa (4/7).

Poin krusial di dalamnya adalah menteri mempunyai kewenangan menentukan bagi hasil dinamis atau sliding scale split. Selain itu, menteri juga bisa memberikan tax holiday dengan ketentuan perpajakan dan disetujui Menteri Keuangan.


Dalam aturan anyar, pemerintah menyelipkan klausul baru tentang fasilitas perpajakan. Pasal 26 A menyebutkan, pada tahap eksplorasi, kontraktor migas memperoleh fasilitas pembebasan pungutan bea masuk atas impor barang.

Kemudian, ada empat kriteria yang tidak dipungut pajak pertambahan nilai dan pajak penjualan atas barang mewah. Pertama, perolehan barang kena pajak tertentu atau jasa kena pajak tertentu. Kedua, impor barang kena pajak tertentu. Ketiga, pemanfaatan barang kena pajak tidak berwujud tertentu dari luar daerah pabean di dalam daerah pabean. Keempat, pemanfaatan jasa kena pajak tertentu dari Iuar daerah pabean di dalam daerah pabean.

Aturan turunan

Direktur Eksekutif Indonesia Petroleum Association (IPA) Marjolijn Wajong mengatakan, pelaku industri migas masih menunggu aturan turunan sebagai implementasi PP 27/2017 tersebut untuk melihat dampaknya. "Saat ini kami masih melakukan kajian menyeluruh terhadap isi PP No. 27/2017. "Tapi ada beberapa hal yang sudah kami lihat saat ini," ujar Marjolijn kepada KONTAN, Selasa (4/7).

IPA menyoroti beberapa poin penting, yakni ada niat pemerintah mau memperbaiki iklim bisnis migas dengan memberikan beberapa fasilitas perpajakan pada masa eksplorasi. Sayang, fasilitas untuk tahap eksploitasi atau produksi tersebut baru bisa diberikan berdasarkan pertimbangan pemerintah.

Artinya, belum ada kepastian bagi kontraktor mendapatkan fasilitas perpajakan tersebut pada masa eksploitasi. Padahal kontraktor harus melihat keseluruhan keekonomian usaha migas dari masa eksplorasi sampai eksploitasi. "Ini penting agar dapat memutuskan apakah akan melakukan eksplorasi atau tidak," jelas Marjolijn.

Ia juga menyoroti fasilitas perpajakan yang diberikan pemerintah dalam PP No. 27/2017 ini karena masih harus menunggu Peraturan Menteri Keuangan.

Alhasil IPA menganggap ketentuan baru tersebut belum cukup kuat menarik investasi hulu migas di Indonesia. "Walaupun kelihatannya PP No. 27/2017 lebih baik ketimbang PP No. 79/2010, tapi belum memenuhi usulan IPA untuk memperbaiki daya tarik investasi migas di Indonesia," ungkap Marjolijn.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Editor: Rizki Caturini