PP Pos, Telekomunikasi dan Penyiaran terbit, ini masukan Mastel



KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Isu kewajiban kerjasama pelaku usaha over the top (OTT) dengan penyelenggara jaringan telekomunikasi dan/atau penyelenggara jasa telekomunikasi kembali menjadi perbincangan hangat seiring terbitnya Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 46 Tahun 2021 tentang Pos, Telekomunikasi, dan Penyiaran beberapa waktu lalu.

Di tengah perbincangan tersebut, Masyarakat Telematika Indonesia (Mastel) menilai, pemerintah perlu mewajibkan pelaku OTT asing untuk bekerja sama dengan penyelenggara jaringan telekomunikasi ataupun penyelenggara jasa telekomunikasi lokal.

Ketua Bidang Infrastruktur Broadband Mastel Nonot Harsono menuturkan, kerja sama antara OTT asing dengan penyelenggara jasa telekomunikasi lokal bisa membantu pemerintah mengumpulkan bukti-bukti transaksi yang dilakukan oleh para pelaku OTT asing. Dengan cara itu, pemerintah bisa memiliki dasar bukti yang lebih kuat untuk menagih kewajiban pajak para pelaku OTT asing.


Baca Juga: YLKI: Kebijakan PP nomor 46/2021 ancam kerahasiaan data pribadi

Hal ini cukup penting, sebab selama ini  para pelaku usaha OTT asing kerap luput dari jangkauan pungutan pajak pemerintah

“OTT asing selama ini kan bandel tidak mau bayar pajak. Terus kemudian ketika disuruh bayar pajak terus bilangnya ini sudah bayar pajak PPN (Pajak Pertambahan Nilai), padahal PPN kan rakyat yang bayar,” ujar Nonot saat dihubungi Kontan.co.id, Senin (22/2).

Lebih lanjut, Nonot menambahkan, kewajiban kerja sama antara OTT asing dengan penyelenggara jaringan telekomunikasi lokal juga dinilai bisa memberi Indonesia ‘kedaulatan’ lebih untuk mengatur/menyaring konten-konten pelaku usaha OTT yang masuk ke Indonesia. Hal ini berbeda dengan praktik sebelumnya, sebab selama ini ukuran layak atau tidaknya konten para pelaku OTT asing yang masuk ke Indonesia ditentukan oleh para pelaku usaha OTT asing tersebut

Selain itu, kewajiban kerja sama antara OTT asing dengan penyelenggara jaringan telekomunikasi lokal juga dinilai bisa bantu meringankan beban para penyelenggara jaringan telekomunikasi lokal dalam menyediakan akses jaringan kepada para penikmat konten OTT asing.

Nonot menjelaskan, selama ini para penyelenggara jaringan telekomunikasi lokal perlu membayar lebar pita atawa bandwidth dalam  menyediakan akses jaringan kepada para penikmat konten OTT asing dengan biaya yang mahal dalam mata uang asing, sebab konten-konten yang disediakan oleh para OTT asing selama ini mengandalkan server yang berada di luar negeri.

Dengan mewajibkan kerja sama OTT asing dengan penyelenggara jaringan telekomunikasi lokal, praktik-praktik yang demikian bisa diubah, sebab penyelenggara jaringan telekomunikasi lokal bisa meminta mitra OTT asing untuk membangun server di Indonesia.

Dengan cara itu, biaya bandwidth yang ditanggung para penyelenggara jaringan telekomunikasi lokal menjadi tidak semahal sebelumnya. Di sisi lain, hal ini juga dinilai berdampak baik bagi kondisi devisa negara, sebab aliran uang ke luar negeri jadi bisa dikurangi.

Menurut Nonot, pemberlakukan kewajiban kerja sama OTT asing dengan penyelenggara jaringan telekomunikasi lokal tidak akan serta-merta membuat para pelaku usaha OTT asing  ‘minggat’ dari Indonesia, sebab Indonesia memiliki potensi pasar yang besar bagi pelaku usaha OTT asing sehingga Indonesia memiliki posisi daya tawar yang cukup kuat.

“Bicara perkiraan makro, populasi Indonesia itu 42% dari populasi ASEAN, mana berani mereka pergi,” tutur Nonot.

Selanjutnya: Begini kata pengamat telko soal terbitnya PP No46/2021

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Editor: Khomarul Hidayat