PPATK keberatan pengampunan pajak bagi koruptor



JAKARTA. Direktorat Jenderal (Ditjen) Pajak pada tahun ini berencana menerapkan pengampunan pajak (tax amnesty) kepada warga negara Indonesia yang menyimpan dananya di bank di luar negeri. Kebijakan ini juga berlaku akan bagi para koruptor.

Dari kebijakan ini, pemerintah berharap bisa menerima uang tebusan sekitar 10%-15% dari dana yang dibawa masuk ke Indonesia. Syaratnya, dana tersebut harus diinvestasikan dalam bentuk penanaman modal langsung (foreign direct investment) di Indonesia.

Meski kebijakan ini diklaim telah mendapat dukungan dari Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) RI untuk dibuatkan payung hukum, namun kebijakan ini masih kontroversial. Lembaga negara yang selama ini gencar memberantas korupsi dan pencucian uang menolak rencana ini. Lembaga negara apalagi kalau bukan Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK).


Menurut Wakil Kepala PPATK Agus Santoso, kebijakan ini tidak tepat dilakukan oleh pemerintah Indonesia sesudah reformasi, meskipun dahulu pernah ada kebijakan serupa. Sebab di era reformasi paska rezim Soeharto, Indonesia telah menyatakan menolak uang panas dari hasil kejahatan luar biasa, yakni narkoba, terorisme dan uang hasil korupsi. Berikut penuturan lengkap Agus Santoso kepada KONTAN, Selasa (2/6) melalui sambungan telepon. Indonesia memang pernah memberikan pengampunan pajak (tax amnesty) pada tahun 1964 dan tahun 1984. Tapi suasana saat ini sudah berbeda dengan dulu. Dulu belum ada Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK) dan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Setelah reformasi, kita sudah sepakat memerangi dan menolak dana panas atau illegal money yang didapat dari kejahatan korupsi, narkoba dan terorisme. Berdirinya PPATK dan KPK melalui UU merupakan suatu konsesus bahwa Indonesia menolak illegal money seperti negara modern lainnya. Korupsi, narkoba dan terorisme adalah tiga jenis kejahatan yang telah dinyatakan kejahatan luar biasa (extra ordinary crime) melalui UU. Pelaku narkoba sudah kita saksikan ditembak mati. Pelaku terorisme juga sama. Namun kini kepada pelaku korupsi kita ingin memberi pengampunan melalui tax amnesty untuk membiayai anggaran pemerintah. Untuk menarik dana hasil korupsi sebenarnya tidak mudah. Dana-dana itu tentu sudah berubah menjadi modal perusahaan di luar negeri. Telah menjadi properti, telah menjadi pabrik, dan lain sebagainya. Apakah masih ada uang fresh money? Ini pertanyaan pertama. Masalah lainnya, sistem devisa yang berlaku di Indonesia saat ini ialah sistem devisa bebas. Lalu lintas dana atau uang dari luar negeri ke Indonesia sekarang ini bebas. Pemerintah dan Bank Indonesia tidak bisa melakukan hold terhadap dana-dana yang masuk tersebut. Sekarang masuk, beberapa menit kemudian bisa pergi lagi. Dengan sistem devisa seperti sekarang, uang warga negara Indonesia yang ada di Singapura, di Hongkong, sering masuk ke Indonesia. Saya tau itu, siapa saja pemiliknya. Bukan koruptor di masa lalu, tapi di masa sesudah reformasi. Siapa saja di belakang dana-dana itu. Dananya dikelola oleh Manajer Investasi (MI) di Singapura untuk membeli saham di Indonesia melalui sekuritas di Indonesia.

Mereka masuk ke pasar modal, lalu keluar lagi. Mereka hanya mencari capital gain. Yang untung hanya MI di luar dan sekuritas di Indonesia. Kecuali harga sahamnya benar-benar, mereka akan terjebak dan rugi. Dana-dana illegal money milik warga Indonesia saat ini tidak semua hasil korupsi di era sebelum reformasi seperti dana Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (BLBI). Di era sesudah reformasi ini juga besar. Bayangkan saja, 60% dari kepala daerah yang ada sekarang melakukan korupsi, itu berapa nilainya. Sejak reformasi kita sepakat untuk menolak illegal money, Indonesia menghidupkan unit intelejen untuk menangkap para koruptor dan mencegah mereka. Sudah tiga tahun terakhir sudah tim pemburu koruptor aktif mengejar aset-aset di luar negeri. Dua minggu lalu, tim ini bertemu pemerintah Swiss dipimpin oleh pejabat kejaksaan agung. Tim ini telah sering bertemu dengan interpol dari Swiss, Hongkong, Singapura, Australia, Inggris, untuk mengejar aset yang dinilai illegal. Di bidang pajak, ada satgas penghindaran pajak. Dalam Laporan Hasil Pemeriksaan, yang saya catata telah menyelamatkan dana senilai Rp 2 triliun. Hingga ini satgas ini masih berjalan, masih sering rapat untuk mengusut kasus penghindaran pajak. Alasan lain mengapa tax amnesty tidak tepat adalah rasio pajak Indonesia masih rendah, sekitar 11%-12% terhadap Produk Domestik Bruto (PDB). Sedangkan di negara lain sekitar 26% hingga 30%. Ini berarti di dalam negeri, pemerintah perlu membangun integritas agar rasio pajak tinggi seperti di negara lain. Selain itu, rasio pajak yang rendah ini mencerminkan kepatuhan pajak memang masih rendah. Kita akan malu dengan negara-negara yang selama ini kita temui untuk mengejar harta koruptor. Mau ditaruh dimana muka kita. Ternyata pemerintahnya sekarang mengampuni mereka yang selama ini kita kejar-kejar sebab pemerintahnya membutuhkan dana untuk pembangunan.

Sampai saat ini Kementerian Keuangan atau pun Direktorat Jenderal Pajak belum membicarakan rencana pengampunan pajak bagi koruptor ini dengan kami di PPATK. Sebagai negara modern yang saling terikat dengan perjanjian, negara-negara yang menjadi surga pencucian uang seperti Singapura dan Hongkong dan negara lainnya selama ini masih mau bekerjasama. Singapura misalnya mau bekerjasama karena sebagai tetangga.

Umumnya negara-negara surga pencucian uang juga tidak mau menyimpan dana yang sudah dikategorikan red notice oleh interpol. Australia pernah meminta imbalan sebesar 25% atas dana WNI yang akan dikembalikan, namun kita tawar akhirnya jadi 18%.

Sedangkan dengan Papua New Guinea (PNG), saat ini tim pemburu harta koruptor masih dalam proses untuk mengejar dana Djoko S Tjandra. Kini Djoko S Tjandra ingin menjadi warga negara PNG, tapi kita keberatan. Ini hanya contoh bagaimana tim ini bekerja dan negara lain mau bekerjasama. Selain itu, masih banyak cara lain yang bisa ditempuh. Cara ini mesti dalam jangka panjang dan berkelanjutan. Pertama, membangun infrastruktur hukum yang jelas. Harus ada kepastian hukum bagi para pebisnis. Kedua, memiliki kebijakan yang stabil. Ketiga, memiliki stabilitas politik. Ini semua akan memunculkan harapan bagi investor karena Indonesia dinilai ramah kepada investasi. Di samping itu sumber-sumber penerimaan di dalam negeri juga belum tergali. Misalnya pajak terhadap laba BUMN dan perusahaan swasta dan pajak atas pengelolaan devisa di dalam negeri. Lebih dari itu semua, kebijakan pengampunan pajak ini ditakutkan menimbulkan moral hazard. Orang akan berpikir, sekarang boleh melakukan korupsi, toh nanti akan diampuni asalkan membawa dananya balik. Ini akan menjadi preseden buruk bagi pengusaha maupun masyarakat secara umum. Apalagi saat ini Indonesia masuk dalam 10 besar negara yang menjadi tempat bagi uang-uang illegal beralih rupa. Sebuah negara yang memiliki uang-uang illegal yang besar itu akan mengalami kehancuran ekonomi. Misalnya seorang pengusaha beneran membangun hotel. Dia meminjam dari bank dengan bunga sekian persen sesuai pasar. Tentu saja tarif hotelnya akan disesuaikan agar bisa mengembalikan modal dari bank.

Katakanlah tarifnya menjadi Rp 700 ribu hingga Rp 1 juta per malam. Tapi di sebelah hotel itu, ada hotel lain yang dibangun dengan dana hasil kejahatan atau korupsi. Hotel itu hanya sebuah tempat pencucian uang, sehingga dia akan menentukan tarif seenaknya.

Tentu saja hotel milik pengusaha beneran akan kalah dan mati karena tidak bisa berkompetisi. Praktik seperti ini terjadi di negara-negara yang masuk dalam jajaran 10 besar negara dengan dana illegal yang besar, termasuk Indonesia.

Uang panas hasil kejahatan akan mencari instrumen apa saja yang tersedia dan bisa dimasuki. Properti, tanah, emas, asuransi dan sebagainya. Semua dimasuki sehingga terjadi bubble, harganya melambung di atas kewajaran. Fenomena ini pun sudah terjadi di Indonesia karena pemberantasan korupsi di Indonesia akhir-akhir ini berjalan sangat lamban.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Editor: Hendra Gunawan