KONTAN.CO.ID - Keputusan pemerintah menaikkan PPN dari 11% menjadi 12% diambil di tengah berbagai tantangan ekonomi domestik, termasuk maraknya Pemutusan Hubungan Kerja (PHK). Sejumlah stimulus ekonomi pun dikucurkan untuk menjaga kesejahteraan masyarakat menengah ke bawah dan mengantisipasi ancaman PHK. Berdasarkan data Kementerian Ketenagakerjaan (Kemnaker), sejak Januari hingga awal Desember tahun 2024 telah ada sekitar 80.000 pekerja atau buruh yang terkena PHK. Jumlah ini lebih tinggi dibandingkan angka PHK tahun 2023 yang mencapai sekitar 60.000 orang. Seperti dilansir Kontan.co.id, Menteri Ketenagakerjaan Yassierli menyatakan permasalahan kehilangan pekerjaan di Indonesia merupakan dampak dari kondisi ekonomi, makro, geopolitik global, hingga daya saing usaha.
Sektor padat karya seperti industri tekstil, garmen, dan alas kaki, mengalami penurunan produksi akibat berkurangnya permintaan ekspor yang diakibatkan tekanan perekonomian global. Kondisi ini bertambah buruk karena konsumen dalam negeri cenderung beralih ke produk-produk impor sehingga berujung pada pengurangan tenaga kerja. Pengamat ekonomi INDEF Ariyo DP Irhamna menyarankan pemerintah perlu mewaspadai dampak kenaikan PPN terhadap potensi PHK, terutama di sektor industri dan jasa karena kedua sektor ini sangat bergantung pada konsumsi domestik. “Kenaikan PPN seharusnya disertai strategi fiskal yang mendukung keberlangsungan usaha kecil dan menengah (UKM) serta memberikan ruang bagi sektor formal untuk bertahan,” ujar Ariyo kepada Tim Kontan, Senin (23/12). Seiring dengan pemberlakuan PPN 12% tahun depan, pemerintah memberikan sejumlah stimulus ekonomi guna menjaga daya beli masyarakat, terutama kelas menengah ke bawah. “Tambahan paket stimulus bantuan pangan; diskon listrik; buruh pabrik tekstil, pakaian, alas kaki, dan furniture tidak bayar pajak penghasilan setahun, pembebasan PPN rumah, dan lain-lain akan menjadi bantalan bagi masyarakat,” tegas Kepala Badan Kebijakan Fiskal Kementerian Keuangan Febrio Kacaribu dalam keterangan tertulis. Pemerintah akan menanggung Pajak Penghasilan (PPh) 21 sepanjang tahun 2025 bagi pekerja industri padat karya yang bergaji di bawah Rp10 juta, dari sektor yang disebutkan Febrio di atas. Selain itu, pemerintah juga memberikan bantuan 50% untuk Jaminan Kecelakaan Kerja sektor padat karya selama enam bulan yang dibayar oleh BPJS Ketenagakerjaan. Bagi perusahaan tekstil, pemerintah menyediakan subsidi bunga 5% untuk revitalisasi mesin. Adapun bagi pekerja yang mengalami PHK, pemerintah menjamin adanya perbaikan kemudahan akses jaminan kehilangan pekerjaan. Sektor UMKM pun memperoleh beberapa stimulus seperti pembebasan kewajiban membayar PPh bagi UMKM dengan omzet di bawah Rp500 juta per tahun. Tarif PPh Final 0,5% bagi UMKM yang telah berakhir pada tahun 2024 diperpanjang hingga tahun 2025. Sementara itu, UMKM lainnya tetap bisa menggunakan PPh Final 0,5% selama 7 tahun sejak pertama kali terdaftar sesuai PP 55/2022. Berbagai stimulus dukungan bagi pekerja, UMKM, dan sektor padat karya tersebut merupakan bagian dari total 15 insentif ekonomi yang diguyurkan pemerintah untuk melindungi kesejahteraan masyarakat serta memitigasi risiko gelombang PHK. Ariyo mendorong masyarakat mengakses bantuan sosial atau subsidi yang diberikan pemerintah untuk mengurangi dampak beban ekonomi. Selain itu, ia menyarankan masyarakat mengatur kembali prioritas pengeluaran dengan lebih selektif dalam belanja.
“Fokus pada kebutuhan pokok dan kurangi konsumsi barang atau jasa yang kurang mendesak,” tandasnya.
Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News Editor: Ridwal Prima Gozal