PR Pemerintah di pinggir tol Cikopo Palimanan



CIKOPO. Bergulirnya proyek-proyek infrastruktur di Jawa, terutama Tol Trans-Jawa akan mengubah pola guna ruang bila tidak dikendalikan dengan baik. Pembangunan infrastruktur ini akan membuat kawasan-kawasan yang dilintasinya lebih terbuka dan memiliki peluang untuk berkembang pesat dan bertransformasi menjadi kawasan pertumbuhan baru.

Ada banyak pebisnis, terutama pelaku usaha di sektor properti, komersial, dan kawasan industri yang diuntungkan dari geliat pengembangan infrastruktur ini. Sebut saja Ciputra Group, yang telah lebih dulu mencuri start dengan mengembangkan perumahan-perumahan terpadu di sepanjang lintas pantai utara Jawa, mulai dari Cirebon, Tegal, hingga Pekalongan.

Menurut Project Manager CitraLand Cirebon, Yohanes Sukiman, permintaan properti, dan komersial pasca digenjotnya pembangunan infrastruktur Tol Trans-Jawa dan terutama beroperasinya Tol Cikopo-Palimanan terus meningkat sejak akhir tahun.


"Di saat bisnis secara umum sedang turun, permintaan properti di sini justru semakin meningkat. Hal ini dibuktikan dengan nilai transaksi yang mengalami pertumbuhan selama Januari-April 2015," tutur Yohanes kepada Kompas.com, Kamis (18/6).

Selama Januari, transaksi yang dibukukan CitraLand Cirebon senilai Rp 8 miliar. Jumlah ini meningkat pada Februari sekitar Rp 9 miliar, dan Maret sekitar Rp 9,5 miliar. Sementara transaksi pada bulan April sekitar Rp 11,45 miliar, Mei Rp 11,5 miliar, dan pekan pertama Juni sudah berada pada level Rp 9 miliar.

"Selain peminat yang bertambah, harga jual lahan, dan properti pun melejit. Harga lahan di perbatasan kota dan kabupaten di Cirebon saja saat ini sudah menyentuh level Rp 2 juta per meter persegi untuk perumahan. Untuk komersialnya sekitar Rp 4 juta per meter persegi," kata Yohanes.

Sementara itu, harga properti perumahannya sudah berada pada angka Rp 800 juta hingga Rp 2 miliar. Harga yang sama terlihat untuk ruko atau properti komersial.

Selain Ciputra Group, terdapat nama besar lainnya macam Agung Podomoro Land yang membesut Podomoro Industrial Estate di Karawang, Jawa Barat. Pengembang ini akan membangun kawasan industri seluas 500 hektar yang terbagi dalam dua tahap. Masing-masing tahap seluas 300 hektar dan 200 hektar. 

Mempertimbangkan geliat bisnis yang dinamis seperti ini, Ketua Umum Ikatan Ahli Perencanaan Indonesia (IAP) Bernardus Djonoputro memperingatkan pemerintah untuk turun tangan dan hadir dalam mengambil keputusan tegas berkaitan dengan rencana tata ruang masa depan Pulau Jawa. 

Terutama di jalur Pantai Utara (Pantura) Jawa Barat yang merupakan lumbung padi Nasional. Menurut data Badan Pusat Statistik (BPS) Jawa Barat per tahun 2012, luas lahan persawahan di enam Kabupaten Jawa Barat yang dilintasi proyek infrastruktur Tol Cikampek-Palimanan sekitar 412.092 hektar.

Masing-masing Kabupaten Karawang seluas karawang 94,075 Ha, Kabupaten Subang seluas 84.929 hektar, Kabupaten Purwakarta 17.653 hektar, Kabupaten Indramayu seluas 110.877 hektar, Kabupaten Majalengka 51.190 hektar, dan Kabupaten Cirebon 53.368 hektar.

Lahan sawah ini menghampar hijau di sepanjang ruas Cikopo-Palimanan. Sejauh mata memandang, saat Kompas.com berkesempatan menyusuri Tol Cikampek-Palimanan, pada Kamis (18/6), pemandangan sawah masih membentang, dan itu lebih luas lagi.

"Jadi, jangan jalan sendiri-sendiri. Ini seolah-olah Kementerian Agraria dan Tata Ruang (ATR) tidak memperdulikan perkembangan ini, tidak ada perencanaan masa depan koridor yang komperehensif," tutur Bernardus.

Tak ada forumulasi tata ruang

Padahal, beroperasinya Tol Cikopo-Palimanan yang merupakan bagian dari Tol Trans-Jawa, serta rel ganda kereta cepat Jakarta-Surabaya kelak, pasti akan mempercepat pertumbuhan kawasan urban Pulau Jawa di sepanjang koridor ini. 

Pemerintah pusat dan daerah sekarang ditantang untuk inovatif dalam menangkap peluang, namun pada saat yang sama harus taat pada rencana tata ruang. Sayangnya, peran arah kebijakan Kementerian ATR belum terlihat dengan jelas. 

"Selain harus dalam penyediaan tanah, ATR harus fokus pada pengendalian dan inovasi dalam menata arah perkembangan di sepanjang koridor maupun kawasan penyangga (hinterland)-nya," tandas Bernardus.

Masalahnya, pemerintah belum punya formulasi tata ruang Jawa yang berbasis pada pertambahan nilai keekonomian, pengembangan kawasan-kawasan prioritas, dan skenario perencanaan yang komprehensif.

Kendati demikian, paling tidak Kementerian ATR, melalui Direktur Jenderalnya harus segera menentukan arah kebijakan ini. "Sampai saat ini, belum terlihat kementerian ATR fokus ke sini," cetus Bernardus.

Kementerian ATR harus mengantisipasi, akan banyak bermunculan kutub pertumbuhan dan areal urban baru yang dipicu oleh konektivitas ini. Pada saat yang sama beberapa daerah di luar koridor akan berisiko tergentrifikasi dan tidak berkembang.

Untuk itu, dibutuhkan bukan sekadar jargon pengendalian, namun jajaran Kementerian ATR harus dapat melakukan terobosan tentang pola ruang dan arah perkembanganPulau Jawa. Kementerian ATR juga harus mampu merencanakan dengan apik keterpaduan moda baik tol, kereta, pelabuhan dan bandara di Pulau Jawa untuk memberikan ruang layak hidup bagi 120 juta lebih penduduknya. 

"Sekarang ini, saya ragu apakah mereka sudah memikirkan ini, skenario 30 tahun ke depan," sebut bernardus.

Karena itu, jajaran Kementerian ATR tidak bisa berpangku tangan. Yang penting dalam perencanaan harus visioner dan menjangkau horizon masa depan hingga 50-100 tahun ke depan. 

"Legalitas tanah penting, tapi agenda reforma dan perencaan adalah keniscayaan. Pemerintah perlu jalan di depan untuk mengarahkan segenap potensi swasta," pungkas Bernardus.

(Hilda B. Alexander)

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Editor: Sanny Cicilia