KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Menteri Ketenagakerjaan Yassierli menghadap Presiden Prabowo Subianto pada Senin (25/11). Yassierli mengaku akan melaporkan perkembangan terkini terkait ketenagakerjaan. "Mungkin salah satunya (pembahasan UMP). Nanti kita lihat saja," ujar Yassierli di Kompleks Istana Kepresidenan Jakarta, Senin (25/11). Yassierli menambahkan, perumusan formulasi UMP masih terus dibahas. Ia juga tidak bisa memastikan kapan pengumuman penetapan UMP. Hal ini karena adanya putusan Mahkamah Konstitusi (MK) Nomor 168/PUU-XXI/2023.
Putusan tersebut berisi 21 poin yang mengubah aturan ketenagakerjaan dalam Omnibus Law UU Cipta Kerja.
Baca Juga: Pengumuman UMP Ditunda, Kemenaker: Masih Finalisasi "Diumumkan (UMP) enggak bisa dijanjiin juga, menunggu arahan beliau (Presiden Prabowo), tahun ini kan kondisi spesial karena ada putusan MK," ucap Yassierli. Sebelumnya, Presiden Konfederasi Serikat Pekerja Indonesia (KSPI) Said Iqbal berharap Presiden Prabowo segera memutuskan kenaikan upah minimum (UMP dan UMK) dan upah minimum sektoral (UMSP dan UMSK) sebagaimana diamanatkan keputusan Mahkamah Konstitusi Nomor 168/PUU-XXI/2023. KSPI menilai usulan Peraturan Menteri Tenaga Kerja tentang upah minimum 2025 yang diusulkan oleh Menteri Tenaga Kerja, bertentangan dengan keputusan Mahkamah Konstitusi Nomor 168/PUU-XXI/2023. Disebutkan bahwa Menteri Ketenagakerjaan dalam menetapkan kenaikan upah minimum membagi dua kategori upah minimum. Yaitu kenaikan upah minimum untuk industri padat karya dan kenaikan upah minimum industri padat modal. "Pembagian dua kategori kenaikan upah minimum ini melanggar keputusan Mahkamah Konstitusi karena dalam keputusan MK tersebut hanya dikatakan kenaikan upah minimum berdasarkan inflansi, pertumbuhan ekonomi, dan indeks tertentu, dengan memperhatikan proporsionalitas kebutuhan hidup layak (KHL)," ujar Said Iqbal dalam keterangan pers, Senin (25/11).
Baca Juga: Penundaan Penetapan UMP 2025 Berpotensi Hambat Perencanaan Bisnis Pelaku Usaha Selain itu, dalam draft Permenaker tentang upah minimum tersebut, berisikan bahwa bagi perusahaan yang tidak mampu membayar kenaikan upah minimum 2025 maka dapat dirundingkan di tingkat bipartit perusahaan. Hal ini pun ditolak oleh buruh, karena penetapan upah minimum diputuskan oleh Dewan Pengupahan Daerah sebagaimana keputusan MK. Hal lain yang ditolak buruh dalam draft Permenaker tersebut adalah upah minimum sektoral yang rencananya diserahkan dalam perundingan bipartit di tingkat perusahaanh atau dikaburkan kalimatnya yang terkesan Dewan Pengupahan Daerah tidak perlu membahas penetapan upah minimum sektoral (UMSP dan UMSK).
"Jelas keputusan draft permenaker ini bertentangan dengan keputusan Mahkamah Konstitusi, oleh karenanya ditolak oleh buruh," kata Iqbal.
Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News Editor: Herlina Kartika Dewi