Prahara Industri Keuangan Digital Membelenggu, Informasi ke Nasabah Harus Diperjelas



KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Industri keuangan digital di Tanah Air tengah menjadi sorotan, mulai dari prahara di industri fintech peer to peer (P2P) lending alias pinjaman online (pinjol) hingga paylater. Bahkan, persoalan di industri fintech sampai menelan korban jiwa.

Berdasarkan riset KONTAN, sepanjang tahun 2019 sampai 2023 terjadi belasan kasus meninggal dunia yang diduga karena lilitan utang pinjol.  Beberapa kasus bunuh diri akibat pinjol antara lain, pada Februari tahun 2019, seorang supir taksi berinisial Z ditemukan gantung diri di Jakarta Selatan karena terlilit utang pinjol.  Saat ditemukan, polisi menemukan secarik surat wasiat yang berisikan bahwa Z tengah dikejar oleh penagih utang platform pinjol yang hingga kini belum diketahui perusahaannya.

Berdasarkan hasil penyelidikan Z awalnya meminjam Rp 500.000, karena ia tak sanggup membayar hingga jatuh tempo dendanya pun membengkak hingga nominal yang juga tak diketahui.


Baca Juga: Bos AdaKami Sebut Biaya Asuransi Jadi yang Paling Tinggi dalam Biaya Layanan

Pada Maret tahun 2020, pria berinisial ST ditemukan gantung diri di dapur rumah kontrakannya di bilangan Depok, Jawa Barat. Berdasarkan keterangan polisi, ST memiliki masalah utang pada platform pinjol yang telah lewat tenggat waktu.

Pada Juni 2021, pria asal Tulungagung Jawa Timur berinisial OS, 36 tahun ditemukan tak bernyawa dengan melukai dirinya sendiri karena luka benda tajam yang menghujam tubuhnya. Hasil penyelidikan menyebut, dari pemeriksaan ponsel korban terdapat beberapa pesan yang menagih utang pinjol.

Lanjut pada Agustus 2021, petugas penangkaran rusa berinisial ADS di Gunungkidul, Yogyakarta, Jawa Tengah, ditemukan tewas gantung diri di kandang rusa, Senin 30 Agustus 2021. Berdasarkan keterangan kerabatnya, ADS mendapat pesan WA yang berisikan bahwa dirinya segera untuk melunasi utang pinjol.

Di Agustus 2021 juga, seorang pegawai bank di Bojonegoro, Jawa Timur mengakhiri hidupnya dengan gantung diri di kantornya. Diketahui, ia terjerat berbagai utang mulai dari pinjol, ke temannya hingga ke nasabah dengan nominal mencapai Rp 23,7 juta.

Dari surat wasiat yang ditinggalkan korban yang tak disebutkan inisialnya itu, diketahui ia memiliki utang diberbagai platform pinjol seperti Cairin, Kredit KTA, KTA Kilat, AdaKami dan Kredit Pintar. Ia pun meminta maaf kepada semua pihak terkait.

Lalu Juli 2022, pria berinisial RH nekat gantung diri di rumah temannya karena terjerat utang pinjol. Menurut keterangan saksi, RH kerap kali mengeluh terkait teror yang datang dari penagih pinjol yang mengancam bakal menyebar data pribadinya.

September 2022, seorang perawat berinisial GRD tewas menggelantung di kamar kontrakannya. Ibu kandung perawat itu mengatakan bahwa GRD sudah lama terjerat utang pinjol. Bukan hanya dia, sang ibunda tak luput dari teror para penagih utang.

Kemudian pada Agustus 2023, seorang mahasiswa Universitas Indonesia (UI) berinisial AAB tega menghabiskan nyawa adik tingkatnya berinsial MZN. Disebut-sebut, ia ingin menguasai barang berharga milik korban.

AAB mengaku aksi kejinya tersebut didasari karena kerugian investasi kripto sebesar Rp 80 juta sehingga harus meminjam uang ke pinjol dan teman-temannya untuk menutupi kerugian.

Terbaru, pria bernisial K diduga tewas bunuh diri diduga lantaran terjerat utang pinjol. K ini dikabarkan tidak mampu membayar bunga pinjol yang dilakukannya lewat platform AdaKami, serta mendapat teror dari oknum debt collector AdaKami.

Terkait hal ini, pihak AdaKami tengah menyelidiki kebenaran berita yang viral ini karena hingga seminggu berita ini viral belum ada satu pun keluarga korban atau siapapun yang melaporkan terjait kematian K tersebut.

Selain itu, kasus paylater sempat membuat geger publik dengan caranya menggaet nasabah. Ini menimpa mahasiswa UIN Raden Mas Said Surakarta.

Baca Juga: AdaKami: Nasabah yang Disebut-sebut Meninggal Bunuh Diri Tak Ada dalam Data

Di mana mereka melakukan penggalangan dana dengan kerja sama sponsorship dengan pihak ketiga. Melalui pihak ketiga, yang di antaranya adalah Pelaku Usaha Jasa Keuangan (PUJK) berizin OJK. Dari kerja sama itu, meminta mahasiswa baru untuk mengunduh aplikasi dan melakukan registrasi.

Menanggapi prahara yang membelenggu industri keuangan digital, Pengamat Ekonomi sekaligus Direktur Center of Economics and Law Studies (Celios), Bhima Yudhistira mengatakan dalam kasus ini banyak sekali ditemukan pelanggaran salah satunya prosedur penagihan.

“OJK sudah mengatur secara rinci berbagai macam prosedur penagihannya, mulai dari pengiriman surat, pemanggilan. Kalau pun harus mendatangani misalnya, rumah debitur yang menunggak pun tidak dilakukan dengan cara-cara yang seperti itu. Apalagi sudah order fiktif, pengancaman, itu sudah masuk ke kategori tindak pidana,” ujarnya kepada KONTAN, Jumat (22/9).

Kedua, lanjut Bhima, pengaturan soal bunga yang selama ini dianggap masih lemah, lalu denda yang telah diatur oleh OJK. Menurutnya, jika ada keterlambatan pembayaran, maka dendanya tidak boleh melebihi pokok pinjaman.

“Jadi ada banyak sekali aturan-aturan yang terlihat sekali jelas dilanggar, sehingga ini saya pikir tidak hanya terjadi pada 1-2 korban, tapi ini sudah masif sehingga OJK harus memberikan sanksi bahkan kalau itu adalah pinjol yang legal, ini harus ada semacam pencabutan izin,” jelasnya.

Bhima mengungkapkan, OJK dibekali untuk menjadi bagian dari penyidikan langsung dengan perangkat regulasi, sehingga kasus-kasus seperti ini jangan lagi terjadi.

“Tapi juga di satu sisi, perlindungan konsumennya jalan, perlindungan dan edukasi juga harus dijalankan, sehingga masyarakat tidak coba-coba untuk melakukan pinjaman online, apalagi yang sifatnya konsumtif,” ungkapnya.

Sementara itu, Peneliti Ekonomi Digital Institute for Development of Economics and Finance (Indef) Nailul Huda menyatakan dalam kasus pinjol ada dua hal yang menyebabkan kasus gagal bayar terjadi sehingga merenggut korban jiwa.

Pertama, dari sisi informasi mengenai pinjol yang dinilai belum simetris, di mana informasi yang berkembang saat ini asimetris, sebagai contoh mengenai bunga.

“Pada survei yang dilakukan oleh APJII, faktor paling penting yang peminjam pertimbangkan adalah suku bunga yang rendah. Padahal kita semua tahu bunga di pinjol sangat tinggi. Iklan pinjol pun hanya menampilkan besaran bunga 0,1%-0,4%, maka satu bulan 12%,” imbuhnya.

Kedua, lanjut Huda, dari sisi penilaian credit scoring pinjol yang menggunakan data alternatif menurutnya masih perlu diperkuat. Harus ada data pembanding atau penunjang seperti data historis perbankan.

“Data ini bisa digunakan untuk melihat kemampuan bayar calon peminjam. Ini dapat dilihat sebenarnya dari tingkat gagal bayar yang semakin meningkat. Bahkan ada pinjol resmi yang tingkat bayarnya sampai 77%. Artinya dari sistem assesmennya harus ada perbaikan,” pungkasnya.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Editor: Herlina Kartika Dewi