Praktek transshipment mengancam sektor perikanan



JAKARTA. Transshipment alias alih muatan ikan antara kapal di atas perairan masih menjadi momok bagi sektor perikanan dalam negeri. Minimnya pengawasan di laut menjadikan kegiatan tersebut sulit dibendung, akibatnya pasokan ikan ke dalam negeri menjadi berkurang.

Kegiatan transshipment tersebut banyak dilakukan oleh nelayan Indonesia dengan pemilik kapal asing. Beberapa pemilik kapal asing yang masih banyak melakukan transshipment tersebut antara lain Thailand, dan Filipina. Untuk lokasinya berada di sekitaran laut Ambon, laut Aru dan laut Cina selatan.

Beberapa alasan melandasi kegiatan transshipment ini. Pertama, sistem ijon yang dilakukan oleh pengusaha asing. Dengan memberikan bantuan modal dan berbagai perlengkapan untuk melaut, nelayan harus menjual produk ikan yang ditangkap di lokasi yang telah ditentukan oleh pemilik modal.


Kedua, persoalan keekononiman. Kapal tangkap yang dimiliki nelayan lokal kebanyakan berkapasitas kecil. Konsumsi BBM yang dibutuhkan juga relatif sedikit, walhasil dari pada mereka harus memendaratkan ikan di darat lebih baik mereka menjual hasil tangkapannya di laut.

Wakil Ketua Umum Kadin bidang Kelautan dan Perikanan Yugi Prayanto mengatakan, persoalan kegiatan transshipment tersebut tidak lain karena perbedaan harga antara di dalam dan di luar negeri. "Oleh karena itu perlu adanya peningkatan pengawasan," kata Yugi, Senin (22/9).

Oleh sebab itu Yugi berpendapat, agar tidak terjadi ketimpangan maka perlu adanya pertemuan antara seluruh pemangku kepentingan untuk menentukan kesepakatan harga produk perikanan dalam negeri.

Selain transshipment potensi kehilangan pendapatan negara akibat penangkapan ikan ilegal serta pencurian sangat besar. Meski tidak merincim, namun Yugi menyebut nilainya mencapai Rp 225 triliun per tahun.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Editor: Yudho Winarto