KONTAN.CO.ID - Kepala daerah yang terkena operasi tangkap tangan (OTT) Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dan Badan Reserse Kriminal (Bareskrim) tidak sekali dua kali terjadi. Dalam berbagai kasus, OTT kepala daerah biasanya banyak berkaitan dengan praktik jual beli jabatan. Kasus terbaru OTT kepala daerah yang diduga terlibat dalam praktik jual-beli jabatan terjadi di Kabupaten Nganjuk. Berbagai media massa melaporkan, Bupati Nganjuk Novi Rahman Hidayat dan kroninya ditangkap aparat. Dugaan sementara, Bupati Nganjuk itu terlibat dalam penerimaan uang suap untuk jabatan di lingkungan birokrasi daerah. Dari informasi yang diperoleh, hampir semua perangkat desa di Nganjuk melakukan transaksi untuk mendapatkan jabatan dan kariernya dalam birokrasi di daerah di Provinsi Jawa Timur itu. Kasus tangkap tangan yang dialami pejabat daerah seperti Bupati Nganjuk Novi Rahman Hidayat adalah kasus korupsi ke sekian kalinya yang terjadi di tanah air. Sebelumnya, Taufiqurahman, Bupati Nganjuk periode 2008-2013 dan 2013-2018, juga dilaporkan terlibat dalam praktik jual beli jabatan senilai total Rp 1,3 miliar. Taufiqurahman telah divonis tujuh tahun penjara untuk mempertanggungjawabkan perbuatannya.
Sederet kepala daerah yang pernah terlibat dalam praktik jual beli jabatan di antaranya adalah Muhammad Tamzil, Bupati Kudus periode 2018-2023, yang telah divonis delapan tahun penjara karena menerima suap Rp 2,12 miliar. Sebelumnya, Sri Hartini, Bupati Klaten periode 2016-2021, juga terbukti terlibat dalam penerimaan pegawai BUMD dan promosi kepala SMP/SMA. Di Jombang, Nyono Suharli Wihandoko, Bupati periode 2013-2018, juga ditangkap KPK karena menerima suap dalam jual beli jabatan kepala dinas. Daftar pimpinan daerah yang terlibat dalam praktik jual beli jabatan dapat terus bertambah. Sepanjang proses rekrutmen dan kontestasi pimpinan daerah masih diwarnai politik transaksional, maka sepanjang itu pula praktik jual beli jabatan masih akan terjadi. Di berbagai daerah, bukan rahasia lagi bahwa pemilihan dan pengangkatan pejabat dilakukan bukan karena kinerja dan prestasinya. Aparatur birokrasi yang terbiasa asal bapak senang (ABS) dan meladeni pimpinannya, maka karier jabatannya niscaya lancar. Di sisi lain, seorang pimpinan daerah yang berhasil merebut dukungan suara karena harus membayar uang mahar yang mahal dan mengandalkan "serangan fajar", kemungkinan mereka terlibat dalam praktik jual beli jabatan niscaya sangat besar. Upaya pimpinan daerah mencari pulihan atas uang yang telah dikeluarkan selama proses pencalonan, menyebabkan jabatan dalam birokrasi mengalami proses komodifikasi. Alih-alih berdasarkan kinerja secara profesional, siapa yang ditunjuk menduduki jabatan-jabatan di birokrasi umumnya adalah mereka yang bersedia membayar kepada pimpinan. Yang disebut
good person dalam birokrasi bukanlah orang yang kinerjanya baik, jujur, dan transparan. Justru orang-orang yang mampu menyiasati pengawasan dan mengatur keuangan daerah, merekalah yang biasanya dekat dalam lingkaran kekuasaan. Praktik jual beli jabatan ini biasanya terjadi dari level bawah hingga paling atas, sehingga kinerja birokrasi pun seringkali tidak optimal. Pengalaman telah banyak membuktikan, di kalangan aparatur birokrasi mereka biasanya bukan berpikir bagaimana menyusun program pembangunan yang efektif dan bermanfaat bagi masyarakat. Tetapi, yang lebih dikedepankan adalah bagaimana program itu bisa dipertanggungjawabkan secara administrasi keuangan. Bukan pada dampak atau hasil akhirnya bagi peningkatan kesejahteraan masyarakat.
Kinerja birokrasi Praktik jual beli jabatan niscaya akan memengaruhi kinerja birokrasi secara keseluruhan. Studi tentang kinerja birokrasi umumnya selalu bernada pesimistis, dan bahkan cenderung menilai keberadaan birokrasi justru kontra-produktif bagi pembangunan. Proses komodifikasi yang terjadi dalam jabatan di jajaran birokrasi seringkali menghambat kerja birokrasi, dan menyebabkan kinerja birokrasi kurang maksimal. Kelemahan yang terjadi dalam tubuh birokrasi adalah praktik korup yang sudah menjadi budaya yang sulit diberantas. Di berbagai daerah, birokrasi seringkali justru menjadi alat atau mesin elite politik tertentu untuk kepentingan pribadi, bahkan sering pula diperlakukan sebagai kendaraan elite politik untuk merebut hegemoni (Bodley, 1982). Akibatnya kemudian, keberadaan birokrasi bukan menyebabkan proses perencanaan dan pelaksanaan berbagai program pembangunan menjadi lancar dan tepat sasaran, melainkan malah membuat pelaksanaan program pembangunan menjadi rawan bias dan bahkan korup. Secara lebih perinci, penyebab utama timbulnya maladministrasi dalam tubuh birokrasi adalah rendahnya profesionalisme aparat. Kemudian juga, kebijakan pemerintah yang tidak transparan, pengekangan terhadap kontrol sosial, tidak ada manajemen partisipatif, berkembang suburnya ideologi konsumtif dan hedonistik di kalangan penguasa, dan belum ada
code of conduct yang kuat yang diberlakukan bagi aparat semua lini dengan disertai sanksi yang tegas dan adil (Islamy, 1998). Sebagai sebuah lembaga, kehadiran birokrasi sebetulnya bertujuan untuk menciptakan suasana kerja yang lebih efisien dan terkoordinasi. Birokrasi modern yang dikehendaki Max Weber pada awalnya adalah birokrasi yang serba rasional dan jauh dari sikap korup. Tetapi, yang terjadi kemudian posisi birokrasi sebagai lembaga dan orang-orang yang ada di dalamnya memang dua hal yang berbeda. Dalam praktik, individu birokrat sering bersikap tidak transparan, korup dan mengembangkan praktik transaksional. Aparat birokrasi yang semestinya bertugas melayani kepentingan masyarakat seringkali mereka terjebak pada kebutuhan pribadinya untuk meniti karier melalui jalan pintas.
Sistem kerja birokrasi yang cenderung ditentukan pimpinan daerah, acapkali membuat gerak langkah birokrasi terhambat. Bisa dibayangkan, apa yang dapat dilakukan aparat birokrasi jika mereka memiliki mental yang lebih condong melayani pimpinan daripada melayani masyarakat? Apa yang bisa dilakukan aparat birokrasi di tingkat daerah jika dalam pekerjaan sehari-hari mereka lebih banyak memikirkan bagaimana mengeruk keuntungan untuk upeti ke atas dibandingkan dengan mendayagunakan wewenangnya yang ada untuk kepentingan masyarakat? Penulis : Bagong Suyanto Guru Besar dan Dekan FISIP Universitas Airlangga Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News Editor: Ignatia Maria Sri Sayekti