Praktisi: Revisi UU Ketenagakerjaan diperlukan untuk menaikkan daya saing investasi



KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Isu ketenagakerjaan tidak hanya memandang dari sudut kepentingan buruh dan pengusaha semata, melainkan juga berbicara mengenai kepentingan investasi asing di Indonesia. Revisi UU Ketenagakerjaan dianggap sudah sangat mendesak.

Praktisi hukum ketenagakerjaan dari Dentons HPRP, Linna Simamora, mengatakan bahwa pada UU Ketenagakerjaan saat ini, terdapat beberapa hal penting yang dirasakan kurang fleksibel bagi para investor asing yang akan berinvestasi di Indonesia. 

Baca Juga: Jokowi segera umumkan susunan kabinet


“Dari berbagai komentar yang saya terima, isu mengenai proses pemutusan hubungan kerja yang mensyaratkan pemberian surat peringatan satu, dua dan tiga sebelum dilakukan PHK dirasa kurang fleksibel dan berbelit-belit,” katanya dalam siaran pers, Jumat (12/7). 

Hal lain yang menurut Linna masih dianggap kurang fleksibel oleh para investor adalah masalah jangka waktu kerja pegawai saat baru direkrut. 

Pada praktiknya, penerapan masa percobaan yang hanya tiga bulan untuk pekerja tetap atau yang disebut pekerja PKWTT (perjanjian kerja waktu tidak tertentu) dinilai tidak cukup sehingga menimbulkan kesulitan bagi investor, dalam hal ini perusahaan, dalam menilai kinerja seseorang yang akan dipekerjakan secara permanen. 

Baca Juga: Penggunaan boiler harus taat aturan K3

Sementara itu, UU Ketenagakerjaan juga membatasi jenis pekerjaan yang dapat dilakukan dengan menggunakan skema kontrak atau yang dikenal dengan perjanjian kerja waktu tertentu (PKWT). Selain dari jenis pekerjaannya, masa kerja suatu PKWT juga diberlakukan batas maksimum dan tanpa masa percobaan. 

Pelarangan adanya masa percobaan dalam PKWT dan batasan-batasan maksimum tersebut dianggap tidak fleksibel bagi para investor dalam merekrut tenaga kerja yang tepat. Padahal perekrutan yang tepat menghasilkan efisiensi kerja dan penghasilan yang memadai bagi perusahaan, hingga pada akhirnya dapat memberikan kesejahteraan bagi karyawan.   

Hasil laporan Japan External Trade Organization (JETRO) pada Februari 2019 menyimpulkan bahwa, salah satu masalah manajemen utama adalah rasio kenaikan upah buruh di Indonesia yang merupakan tertinggi di antara negara-negara ASEAN. Resiko kenaikan biaya di Indonesia sebesar 47 persen, di atas Vietnam yang hanya 30 persen.  

Baca Juga: Menaker: Insentif pajak pro-vokasi mempercepat pemenuhan tenaga kerja terampil

Permasalahan mengenai kenaikan UMR di Indonesia juga dirasakan oleh Linna sebagai permasalahan yang belum ditangani secara memadai. “Dibutuhkan suatu formula yang tepat untuk mengatur mengenai kenaikan UMR sehingga kenaikan tersebut bisa tepat dan terukur.”  

Linna menekankan, yang penting adalah UU hasil revisi nantinya mampu memperhatikan kepentingan kedua belah pihak, baik pengusaha dan pekerja, dan dapat memberikan win-win solution bagi keduanya, sehingga menjadi lebih menarik bagi para investor asing untuk menanamkan modalnya di Indonesia.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Editor: Handoyo .