JAKARTA. Otoritas Jasa Keuangan (OJK) mengimbau pelaku industri asuransi untuk meningkatkan permodalan demi meningkatkan kapasitas usahanya. Peningkatan kapasitas usaha itu nantinya secara otomatis akan mengerek retensi risiko yang mampu ditahan di dalam negeri. Sederhananya, bakal mampu menahan premi yang dibuang ke asuransi atau reasuransi luar negeri.Pasalnya, berdasarkan hitung-hitungan OJK, sedikitnya Rp 6,6 triliun dari total premi asuransi dan reasuransi terbang sia-sia ke luar negeri. “Sebanyak 60% dari total premi Rp 11 triliun yang menjadi devisa asuransi terbuang itu sebetulnya premi asuransi yang tergolong sehat,” ujar Dumoly F Pardede, Deputi Komisioner Pengawas Industri Keuangan Non Bank OJK, Kamis (27/3).Premi senilai Rp 6,6 triliun itu disebut premi sehat karena risikonya cenderung rendah dan seharusnya bisa ditangani oleh perusahaan asuransi atau reasuransi di dalam negeri. “Itu kan premi dari produk asuransi kendaraan bermotor, kesehatan dan beberapa properti yang risikonya bisa ditahan sendiri,” terang dia.Sebelumnya, Kementerian Keuangan mencatat, sektor asuransi menyumbang defisit terhadap neraca pembayaran. Parahnya, angkanya terus membengkak dari tahun ke tahun. Bandingkan saja dengan posisi 20 tahun lalu yang hanya sebesar Rp 250 miliar. Kini, mencapai Rp 11 triliun. Tak heran, regulator berencana melakukan merjer reasuransi untuk meningkatkan retensi risiko di dalam negeri.Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Premi asuransi Rp 6,6 T terbang sia-sia ke LN
JAKARTA. Otoritas Jasa Keuangan (OJK) mengimbau pelaku industri asuransi untuk meningkatkan permodalan demi meningkatkan kapasitas usahanya. Peningkatan kapasitas usaha itu nantinya secara otomatis akan mengerek retensi risiko yang mampu ditahan di dalam negeri. Sederhananya, bakal mampu menahan premi yang dibuang ke asuransi atau reasuransi luar negeri.Pasalnya, berdasarkan hitung-hitungan OJK, sedikitnya Rp 6,6 triliun dari total premi asuransi dan reasuransi terbang sia-sia ke luar negeri. “Sebanyak 60% dari total premi Rp 11 triliun yang menjadi devisa asuransi terbuang itu sebetulnya premi asuransi yang tergolong sehat,” ujar Dumoly F Pardede, Deputi Komisioner Pengawas Industri Keuangan Non Bank OJK, Kamis (27/3).Premi senilai Rp 6,6 triliun itu disebut premi sehat karena risikonya cenderung rendah dan seharusnya bisa ditangani oleh perusahaan asuransi atau reasuransi di dalam negeri. “Itu kan premi dari produk asuransi kendaraan bermotor, kesehatan dan beberapa properti yang risikonya bisa ditahan sendiri,” terang dia.Sebelumnya, Kementerian Keuangan mencatat, sektor asuransi menyumbang defisit terhadap neraca pembayaran. Parahnya, angkanya terus membengkak dari tahun ke tahun. Bandingkan saja dengan posisi 20 tahun lalu yang hanya sebesar Rp 250 miliar. Kini, mencapai Rp 11 triliun. Tak heran, regulator berencana melakukan merjer reasuransi untuk meningkatkan retensi risiko di dalam negeri.Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News