KONTAN.CO.ID - Jakarta. Peneliti Institute for Development of Economics and Finance (Indef) dan pengamat kebijakan publik mengatakan Presiden bisa terus melindungi
industri air minum dalam kemasan (AMDK) dari persaingan tidak sehat yang terjadi hingga saat ini. Presiden diharap bisa memberikan instruksi kepada kementerian dan lembaga terkait untuk menindak kampanye-kampanye negatif seperti penyebaran isu BPA yang bertujuan untuk menguasai pasar industri AMDK secara tidak sehat. “Perlu ada upaya-upaya tegas dari pemerintah untuk menindak pihak-pihak yang melakukan kampanye-kampanye negatif termasuk melalui iklan-iklan yang jelas-jelas mendiskreditkan produk dari perusahaan lain pada industri yang sama. Hal ini untuk memberikan efek jera terhadap mereka,” ujar Peneliti Center of Industry, Trade, and Investment
Indef,
Ahmad Heri Firdaus.
Tanpa tidak adanya ketegasan dari pemerintah untuk menindak kasus ini, perilaku buruk serupa tetap dilakukan hingga saat ini. “Ini yang menyebabkan kasus-kasus persaingan usaha tidak sehat di industri AMDK ini terus terjadi. Kampanye-kampanye negatif lagi-lagi terus dihembuskan. Perlakukan itu terjadi karena ada ruang atau kesempatan untuk mereka bermain secara tidak sehat,” ungkapnya. Padahal, lanjutnya, ahli-ahli pangan dari IPB dan pakar kimia dari ITB sudah menyebutkan bahwa Bisfenol A (BPA) yang ada dalam kemasan AMDK galon guna ulang itu masih aman digunakan. Begitu juga para dokter, juga mengatakan belum menemukan satupun dari pasien yang mereka tangani selama ini mengalami sakit karena telah mengonsumsi AMDK galon guna ulang. “Jadi, Presiden harus segera menyelesaikan masalah ini mengingat persaingan yang terjadi di industri AMDK ini sangat berdampak juga kepada industri-industri UMKM air isi ulang yang sangat bergantung juga pada kemasan galon guna ulang ini,” tukasnya.
Heri berharap pemerintah bisa membuat regulasi yang bisa menindak atau memaksa pelaku usaha untuk tidak melakukan kampanye negatif yang mendiskreditkan produk industri lain. Dia menegaskan kampanye-kampanye negatif seperti yang terjadi di industri AMDK dan berdampak ke industri UMKM ini harus segera dihentikan. “Tidak boleh ada yang namanya negative campaign yang merugikan,
apalagi sampai berdampak kepada UMKM. Ini kan demi menguasai pangsa pasar. Harus ada penegakan aturan dalam hal etika berpromosi atau beriklan juga. Itu yang kecolongan juga selama ini ya, ada iklan-iklan produk AMDK yang jelas-jelas sudah mendiskreditkan merek AMDK lain,” tuturnya. Hal senada juga disampaikan Pengamat Kebijakan Publik dari Universitas Trisakti Trubus Rahadiansyah. Menurutnya, Presiden harus mengeluarkan Perpres untuk memberikan perlindungan hukum kepada pelaku usaha khususnya dalam persaingan usaha tidak sehat yang terjadi di industri AMDK. “Apalagi ini sudah berdampak kepada industri UMKM juga,” tukasnya. Hal lain yang bisa dilakukan adalah Presiden harus memberikan kewenangan lebih kepada Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU) untuk bisa menindak lebih tegas pelaku usaha yang melakukan persaingan usaha tidak sehat di industri AMDK ini. Dia melihat KPPU memang memiliki kewenangan yang sangat terbatas dalam menyelesaikan kasus persaingan usaha yang terjadi di industri. Menurutnya, UU Persaingan Usaha sendiri tidak memberikan amanah yang besar terhadap KPPU terkait hal itu. “Karena itu, mengingat banyaknya fakta di lapangan seperti ini, termasuk yang terjadi di industri AMDK, seharusnya keluar Perpres yang memberikan kewenangan penuh kepada KPPU untuk memecahkan persoalan itu,” katanya. Persaingan usaha yang terjadi di industri AMDK ini berawal dari munculnya sebuah lembaga masyarakat yang menamakan dirinya Jurnalis Peduli Kesehatan dan Lingkungan (JPKL) yang diketuai Roso Daras yang tiba-tiba mendesak Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM) untuk melabeli ‘Berpotensi Mengandung BPA’ terhadap kemasan galon guna ulang berbahan polikarbonat (PC) pada pertengahan tahun 2020 lalu. Mereka beralasan kemasan galon ini tidak baik untuk kesehatan anak-anak. Sayangnya, tak ada satu bukti pun di masyarakat yang mendasari tuntutan mereka. Namun, sungguh aneh jika lembaga yang katanya fokus kepada isu kesehatan lingkungan, sama sekali tidak bersuara mengenai isu kesehatan sirup obat batuk yang mengandung zat kimia berbahaya EG dan DEG yang sudah jelas-jelas ada data kematiannya di Kemenkes. Lembaga lainnya juga sama gigih menyoroti wacana pelabelan ‘Berpotensi Mengandung BPA’
adalah
FMCG Insights yang diketuai Muhammad Hasan. Lembaga ini juga sangat gigih meminta BPOM untuk melabeli ‘Berpotensi Mengandung BPA’ terhadap galon guna ulang dengan alasan yang sama dengan yang disampaikan JPKL. Dan akhir-akhir ini lembaga yang menamakan diri sebagai Zero Waste Management Consortium yang digawangi Amalia S. Bendang dari
Koalisi Pejalan Kaki yang diketuai Alfred Sitorus juga ikut-ikutan menyuarakan hal serupa. Namun, lagi-lagi semua lembaga-lembaga yang tadinya sangat gigih menyatakan diri sebagai pendukung kesehatan masyarakat ini, tidak ada suaranya di media di saat merebaknya kasus kesehatan sirup obat batuk yang jelas-jelas telah menyebabkan kematian ratusan anak di Indonesia.
Banyak pihak yang mengendus wacana pelabelan BPA free yang kini diganti namanya menjadi “berpotensi mengandung BPA” terhadap galon guna ulang hanya merupakan bagian dari persaingan usaha dari industri sejenis. KPPU salah satu yang mengendus hal ini. Komisioner KPPU, Chandra Setiawan, melihat polemik kontaminasi BPA yang berujung pada upaya pelabelan produk air galon guna ulang ini berpotensi mengandung diskriminasi yang dilarang dalam hukum persaingan usaha. “Sebabnya, 99,9 persen industri ini menggunakan galon tersebut, dan hanya satu yang menggunakan galon sekali pakai,” katanya. Kementerian Perindustrian (Kemenperin) juga sangat menyayangkan adanya upaya-upaya dari pihak-pihak tertentu yang menghembuskan isu terkait bahaya Bisfenol A (BPA) di salah satu produk AMDK di masyarakat. Menurutnya, isu soal BPA ini sangat sensitif. “Jadi, saya meminta agar pihak-pihak yang menghembuskan isu terkait BPA ini tidak merusak pemulihan industri di tengah pasar yang belum bagus akibat pandemi. Apalagi saat ini fokus pemerintah adalah memulihkan ekonomi di tengah pandemi. Konsentrasi kita sekarang melakukan pemulihan industri karena pasar di dalam negeri masih belum bagus," kata Direktur Jenderal Industri Agro Kemenperin, Putu Juli Ardika. Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News Editor: Indah Sulistyorini