Presiden diminta rasional putuskan revisi UU KPK



JAKARTA. Penolakan terkait revisi Undang-Undang Komisi Pemberantasan Korupsi masih terus berdatangan. Bivitri Susanti, Peneliti Pusat Studi Hukum dan Kebijakan Indonesia (PSHK) menegaskan, empat poin dalam RUU KPK dapat melemahkan posisi KPK sebagai lembaga pemberantas korupsi.

"Poin yang sangat terlihat melemahkan adalah poin pengangkatan penyidik dan penyelidik, serta adanya dewan pengawas," katanya, Kamis (11/2). Bivitri mengaku bila tidak ada yang bisa menjamin indepensin dan sikap prefesional pihak-pihak yang ditunjuk sebagai dewan pengawas.

Lagipula, tidak ada negara di Asia Tenggara yang menggunakan Dewan Pengawas untuk mengawasi serta mengkontrol kinerja KPK. "Kami takutkan anggota dalam Dewan Pengawas adalah titipan," kata Lalola Ester Peneliti Indonesia Coruption Wacth.

Bivitri menilai, untuk perkara ini Presiden Joko Widodo harus ikut campur disaat Baleg sudah menyetujui revisi UU KPK bakal usulkan masuk dalam prolegnas 2016.

Mereka berharap, Presiden Joko Widodo harus berpikir rasional untuk tidak memasukkan revisi UU KPK dalam prolegnas selama empat tahun kedepan.

Asal tahu saja, revisi UU KPK ini sudah dimasukkan dalam prolegnas 2015 menjadi usulan bersama dari Pemerintah dan DPR. Karena, belum sampai pembahasan dan masa sidang selesai,  maka bakal diusulkan kembali untuk masuk dalam Prolegnas 2016.

Empat poin paling krusial menyentuh untuk revisi adalah rencana dibentuknya dewan pengawas, penyadapan yang diusulkan harus meminta izin dewan pengawas, pengangkatan penyidik yang selama dilakukan oleh sendiri menjadi oleh DPR, serta memberi opsi KPK bisa menghentikan perkara (SP 3).

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Editor: Sanny Cicilia