KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Direktorat Jenderal (Ditjen) Pajak Kementerian Keuangan (Kemkeu) tengah mengejar penerimaan pajak dengan menggencarkan law enforcement atau penegakan hukum. Namun demikian, hal ini dikeluhkan oleh dunia usaha lantaran penegakan hukum yang dilakukan hanya di situ-situ saja alias berburu di kebun binatang. Direktur Eksekutif Center for Indonesia Taxation Analysis (CITA) Yustinus Prastowo mengatakan mengatakan, Presiden Jokowi harus bertindak untuk menertertibkan ini. Pasalnya, penjatuhan bukti permulaan (bukper) kepada WP yang meminta restitusi dan sudah ikut amnesti pajak berada di luar koridor atau aturan yang ada. "Harus dipastikan tidak keluar dari koridor serta ada reward and punishment. Menurut saya, dari sisi persepsi dan faktualnya, hal seperti ini distortif," kata Yustinus saat ditemui di Gedung Kemkeu, Rabu (25/10). Yustinus melanjutkan, dengan terjadinya hal ini, diduga fiskus bertindak di luar kebijakan dari Menkeu Sri Mulyani. Pasalnya, pemerintah telah memiliki koridor yang tersedia untuk penegakan hukum pasca-amnesti pajak, yakni PP 36. “Komitmennya ada di Surat Edaran (SE) 24, yang diperiksa pertama adalah mereka yang tidak ikut amnesti pajak, yang datanya akurat dan signifikan. Kedua, mereka yang ikut amesti pajak tetapi benar-benar bohong," ujarnya. Yustinus melanjutkan, konteks penegakan hukum tersebut memang tidak salah apabila melihat dari SPT tahun 2016 karena tax amnesty sendiri adalah kondisi per 31 Desember 2015. Namun demikian, hal ini dinilai tidak bijak. "Pemertntah buat kebijakan amnesti pajak di tengah tahun. Itu jelas kita sudah mentolerir atau minimal mengakui bahwa enam bulan itu orang pasti bohong. Kalau mau hukum pasti bisa, tetapi kan ada amnesti pajak setelahnya, yang enam bulan ini bagaimana? Sudah terlanjur terbitkan faktur fiktif, pakai faktur fiktif, ini kan tidak bisa dianulir," jelas Yustinus. Dengan keadaan itu, wajib pajak bisa memilih untuk ikut amnesti pajak, tetapi dalam amnesti pajak, dosa yang diampuni adalah 2015 ke belakang. "Ya sudah mau gimana lagi, tetapi kucing-kucingaan jadinya seolah-olah dikejar di 2016. Tidak salah, tapi tidak bijak menurut saya," ucapnya. Ketua Hipmi Tax Center Ajib Hamdani bilang, wajar saja apabila Ditjen Pajak mengeluarkan extra effort untuk mendongkrak penerimaan mendekati akhir tahun. "Kalau konteks extra effort-nya masih dalam koridor aturan, saya pikir itu menjadi sebuah keniscayaan," kata Ajib. Menurut catatan KONTAN,dari keseluruhan extra effort, di antaranya intensifikasi pemeriksaan, penagihan, gijzeling, dan ekstensifikasi pajak, pada awal Juli terkumpul Rp 28,4 triliun dari extra effort tersebut. Pada tengah tahun itu, pemerintah menargetkan penerimaan Rp 59,5 triliun dari extra effort. Namun demikian, Direktur Jenderal (Dirjen) Pajak Ken Dwijugiasteadi menyatakan bahwa total penerimaan dari proses extra effort sampai pertengahan Oktober sebesar Rp 49 triliun. Oleh karena itu, targetnya dinaikkan bahkan tidak dibatasi. Direktur Potensi, Kepatuhan dan penerimaan pajak Ditjen Pajak Yon Arsal mengatakan, saat ini target extra effort memang lebih besar dari Rp 59,5 triliun. "Rp 59,5 triliun itu setengahnya saja tidak sampai. Sekitar Rp 100-an triliun," ujar Yon. Sumber KONTAN menyebut, dalam dua bulan terakhir Ditjen Pajak kerap menerapkan menjatuhkan bukti permulaan (bukper), termasuk kepada WP yang meminta restitusi dan sudah ikut amnesti pajak. Adapun bukper ini dikeluarkan oleh Direktorat Penegakan Hukum dengan membidik PMA-PMA besar. Bukper sendiri berarti pidana dan pidananya hilang jika bayar denda 150%.
Presiden diminta tertibkan penegakan hukum pajak
KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Direktorat Jenderal (Ditjen) Pajak Kementerian Keuangan (Kemkeu) tengah mengejar penerimaan pajak dengan menggencarkan law enforcement atau penegakan hukum. Namun demikian, hal ini dikeluhkan oleh dunia usaha lantaran penegakan hukum yang dilakukan hanya di situ-situ saja alias berburu di kebun binatang. Direktur Eksekutif Center for Indonesia Taxation Analysis (CITA) Yustinus Prastowo mengatakan mengatakan, Presiden Jokowi harus bertindak untuk menertertibkan ini. Pasalnya, penjatuhan bukti permulaan (bukper) kepada WP yang meminta restitusi dan sudah ikut amnesti pajak berada di luar koridor atau aturan yang ada. "Harus dipastikan tidak keluar dari koridor serta ada reward and punishment. Menurut saya, dari sisi persepsi dan faktualnya, hal seperti ini distortif," kata Yustinus saat ditemui di Gedung Kemkeu, Rabu (25/10). Yustinus melanjutkan, dengan terjadinya hal ini, diduga fiskus bertindak di luar kebijakan dari Menkeu Sri Mulyani. Pasalnya, pemerintah telah memiliki koridor yang tersedia untuk penegakan hukum pasca-amnesti pajak, yakni PP 36. “Komitmennya ada di Surat Edaran (SE) 24, yang diperiksa pertama adalah mereka yang tidak ikut amnesti pajak, yang datanya akurat dan signifikan. Kedua, mereka yang ikut amesti pajak tetapi benar-benar bohong," ujarnya. Yustinus melanjutkan, konteks penegakan hukum tersebut memang tidak salah apabila melihat dari SPT tahun 2016 karena tax amnesty sendiri adalah kondisi per 31 Desember 2015. Namun demikian, hal ini dinilai tidak bijak. "Pemertntah buat kebijakan amnesti pajak di tengah tahun. Itu jelas kita sudah mentolerir atau minimal mengakui bahwa enam bulan itu orang pasti bohong. Kalau mau hukum pasti bisa, tetapi kan ada amnesti pajak setelahnya, yang enam bulan ini bagaimana? Sudah terlanjur terbitkan faktur fiktif, pakai faktur fiktif, ini kan tidak bisa dianulir," jelas Yustinus. Dengan keadaan itu, wajib pajak bisa memilih untuk ikut amnesti pajak, tetapi dalam amnesti pajak, dosa yang diampuni adalah 2015 ke belakang. "Ya sudah mau gimana lagi, tetapi kucing-kucingaan jadinya seolah-olah dikejar di 2016. Tidak salah, tapi tidak bijak menurut saya," ucapnya. Ketua Hipmi Tax Center Ajib Hamdani bilang, wajar saja apabila Ditjen Pajak mengeluarkan extra effort untuk mendongkrak penerimaan mendekati akhir tahun. "Kalau konteks extra effort-nya masih dalam koridor aturan, saya pikir itu menjadi sebuah keniscayaan," kata Ajib. Menurut catatan KONTAN,dari keseluruhan extra effort, di antaranya intensifikasi pemeriksaan, penagihan, gijzeling, dan ekstensifikasi pajak, pada awal Juli terkumpul Rp 28,4 triliun dari extra effort tersebut. Pada tengah tahun itu, pemerintah menargetkan penerimaan Rp 59,5 triliun dari extra effort. Namun demikian, Direktur Jenderal (Dirjen) Pajak Ken Dwijugiasteadi menyatakan bahwa total penerimaan dari proses extra effort sampai pertengahan Oktober sebesar Rp 49 triliun. Oleh karena itu, targetnya dinaikkan bahkan tidak dibatasi. Direktur Potensi, Kepatuhan dan penerimaan pajak Ditjen Pajak Yon Arsal mengatakan, saat ini target extra effort memang lebih besar dari Rp 59,5 triliun. "Rp 59,5 triliun itu setengahnya saja tidak sampai. Sekitar Rp 100-an triliun," ujar Yon. Sumber KONTAN menyebut, dalam dua bulan terakhir Ditjen Pajak kerap menerapkan menjatuhkan bukti permulaan (bukper), termasuk kepada WP yang meminta restitusi dan sudah ikut amnesti pajak. Adapun bukper ini dikeluarkan oleh Direktorat Penegakan Hukum dengan membidik PMA-PMA besar. Bukper sendiri berarti pidana dan pidananya hilang jika bayar denda 150%.