KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Presiden Ekuador Daniel Noboa pada Selasa (16/9) menetapkan keadaan darurat di tujuh provinsi menyusul gelombang protes atas keputusan pemerintah menghapus subsidi bahan bakar. Mengutip barrons, langkah kontroversial ini diumumkan pekan lalu dengan tujuan menghemat sekitar US$1,1 miliar. Dana tersebut, menurut Noboa, akan dialihkan untuk bantuan sosial dan program dukungan pertanian. Namun, kebijakan ini langsung berdampak pada kenaikan harga solar (diesel) dari US$1,80 menjadi US$2,80 per galon (setara Rp7.800–Rp12.100 per liter). Kenaikan tersebut menekan masyarakat, terutama mengingat hampir sepertiga penduduk Ekuador hidup dalam kemiskinan.
Gelombang Protes di Jalan Raya
Reaksi Kelompok Adat dan Serikat Buruh
Penghapusan subsidi BBM bukan hal baru di Ekuador. Dua presiden sebelumnya gagal menerapkan kebijakan serupa karena menghadapi demonstrasi besar-besaran yang dipimpin oleh konfederasi adat Conaie. Kelompok ini bahkan dikenal berperan dalam menjatuhkan tiga presiden antara 1997–2005. Meski Conaie mengecam keputusan Noboa yang dianggap “merugikan rakyat miskin,” organisasi tersebut belum secara resmi bergabung dalam gelombang protes kali ini. Di sisi lain, mahasiswa universitas telah menyerukan aksi di Quito, sementara serikat pekerja FUT berencana menggelar unjuk rasa pekan depan.Keadaan Darurat 60 Hari
Dalam dekritnya, Noboa menyebut adanya “kerusuhan internal yang parah” sebagai alasan utama pemberlakuan keadaan darurat selama 60 hari di tujuh dari 24 provinsi Ekuador. Dekrit tersebut berisi:- Pembatasan hak berkumpul di ruang publik.
- Pengerahan militer untuk mencegah dan membubarkan massa di titik-titik rawan.