Presiden Jokowi siapkan Perppu Anti-Terorisme



KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Aksi teror berupa pengeboman yang terjadi di Surabaya Jawa Timur dalam dua hari terakhir bisa menjadi momentum bagi pemerintah dan Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) untuk segera menyelesaikan Rancangan Undang -Undang (RUU) Antiterorisme. RUU yang telah dibahas sejak 2016 itu sampai sekarang belum berujung pangkal karena masih menimbulkan pro dan kontra.

"Pemerintah sudah ajukan pada Februari 2016, artinya sudah dua tahun dan saya perintahkan untuk diselesaikan secepatnya dalam sidang berikut 18 Mei mendatang," perintah Presiden Joko Widodo (Jokowi), Senin (14/5).

Menurut Presiden, beleid ini merupakan payung hukum bagi aparat untuk bertindak tegas dalam pencegahan dan penindakan pelaku terorisme. "Kalau sampai akhir Juni tidak diselesaikan, saya akan keluarkan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perppu)," katanya.


Ketua Panitia Khusus (Pansus) RUU Antiterorisme Muhammad Syafi'i menyatakan, saat ini pembahasan RUU Terorisme hanya menunggu dari pemerintah terkait definisi terorisme itu sendiri. "Sejatinya pembahasan sudah mencapai 99,9% hanya tinggal membahas satu ayat di Pasal 1 yang menjelaskan definisi dari terorisme," ungkapnya.

Menurut politikus Partai Gerindra tersebut, hingga saat ini pemerintah dan DPR belum sepakat menentukan definisi dari terorisme. Padahal, hal ini merupakan panduan bagi masyarakat dan penegak hukum dalam menentukan tindakan hukum bagi teroris.

Syafi'i menjelaskan, sebelumnya pemerintah baik Kepala Kepolisian RI (Kapolri), Panglima TNI, dan Kementerian Pertahanan telah mengajukan saran definisi arti terorisme. Dirinya juga mengimbau kepada pemerintah untuk juga melihat definisi dari Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) sebagai referensi.

"Dalam rapat sebelumnya kami kasih panduan atas masukan-masukan tersebut dan ada lima definisi," jelasnya.

Lima definisi terorisme, menurut Syafi'i, pertama, adanya tindakan kejahatan. Kedua, adanya teror terhadap masyarakat secara masif. Ketiga, menimbulkan korban. Keempat, merusak objek-objek vital yang strategis. Kelima, adanya motif dan tujuan politik.

Namun, Syafi'i bilang pemerintah tidak memasukkan poin kelima dalam definisi terorisme. Padahal, poin tersebut dinilainya merupakan makna dasar dari terorisme.

Polemik di masyarakat

Pengamat Terorisme Institute for Security and Strategic Studies (ISESS) Khairul Fahmi menilai, dorongan untuk mempercepat pengesahan RUU Terorisme perlu memperhatikan kondisi masyarakat. Sebab saat ini masih ada polemik sehingga ada tarik ulur. "Jangan sampai UU ini nanti lebih menakutkan dari terorisme itu sendiri," ujar.

Dia khawatir, poin dalam UU Antiterorisme dapat disalahgunakan bila terdapat ketidakjelasan. Contohnya soal penyadapan, yang memerlukan kejelasan kapan tindakan penyadapan dapat dilakukan.

Revisi UU No 15 Tahun 2003 juga belum memuat norma terhadap hal utama yang dibahas. "RUU Tindak Pidana Terorisme ini belum punya rumusan normatif yang jelas tentang terorisme, radikalisme dan deradikalisasi itu sendiri," terangnya.

Namun, dia sepakat, UU ini penting karena dapat memperbaiki sisi lemah pemberantasan terorisme.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Editor: Herlina Kartika Dewi