Presiden teken aturan penyelesaian lahan dalam pembangunan nasional



KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Pengadaan lahan kerap menjadi hambatan dalam pembangunan nasional. Tapi, tampaknya hal tersebut sudah tidak lagi menjadi masalah.

Pasalnya, Presiden Joko Widodo sudah menandatangani Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 62 Tahun 2018 tentang Penanganan Dampak Sosial Kemasyarakatan Dalam Rangka Penyediaan Tanah Untuk Pembangunan Nasional.

Dalam Prespres yang diteken 6 Agustus 2018 lalu itu dikatakan, peraturan ini dibentuk karena pembangunan nasional, seringkali terhambat oleh keadaan di mana tanah yang telah dikuasai dan digunakan masyarakat dengan itikad baik dalam jangka waktu yang lama.


Maka untuk penyelesaiannya, pemerintah memandang perlu dilakukan penanganan dampak sosial kemasyarakatan. Perpres ini pun akan mengatur pemerintah dalam melakukan penanganan Dampak Sosial Kemasyarakatan kepada Masyarakat yang menguasai tanah yang digunakan untuk pembangunan nasional (proyek strategis nasional dan non proyek strategis nasional).

“Tanah sebagaimana dimaksud merupakan tanah negara atau tanah yang dimiliki oleh pemerintah, pemerintah daerah, badan usaha milik negara, atau badan usaha milik daerah,” bunyi Pasal 3 ayat (2) Perpres ini seperti dikutip, Senin (27/8).

Sementara masyarakat yang dimaksud adalah: a. memiliki identitas atau keterangan kependudukan yang disahkan oleh kecamatan setempat; dan b. tidak memiliki hak atas tanah yang dikuasainya.

Sementara penguasaan tanah oleh masyarakat sebagaimana dimaksud, memenuhi persyaratan: a. telah menguasai dan memanfaatkan tanah secara fisik paling singkat 10 tahun secara terus-menerus; dan b. menguasai dan memanfaatkan tanah dengan itikad baik secara terbuka, serta tidak diganggu gugat, diakui dan dibenarkan oleh pemilih hak atas tanah dan/atau lurah/kepala desa setempat.

Nah, "Masyarakat yang memenuhi persyaratan tadi akan diberikan santunan berupa uang atau relokasi,” bunyi Pasal 6 Perpres ini. Untuk itu, Perpres ini menugaskan kementerian/lembaga, pemerintah daerah, badan usaha milik negara, atau badan usaha milik daerah yang tanahnya akan digunakan untuk pembangunan nasional dan dikuasai oleh masyarakat menyusun dokumen rencana Penanganan Dampak Sosial Kemasyarakatan.

Dokumen itu nantinya diserahkan kepada Gubernur, yang selanjutnya membentuk Tim Terpadu Penanganan Dampak Sosial Kemasyarakatan. Tim terpadu ini nanti akan melakukan verifkasi dan validasi data atas bidang tanah yang dikuasi masyarakat.

Tak hanya itu, tim terpadu juga bertugas menunjuk pihak independen untuk menghitung besaran nilai santunan, merekomendasikan besaran santunan, dan merekomendasikan daftar masyarakat yang berhak untuk mendapatkan santunan.

Adapun besaran santunan dihitung berdasarkan penilaian pihak independen dengan memperhatikan: a. biaya pembersihan segala sesuatu yang berada di atas tanah; b. mobilisasi; c. sewa rumah paling lama 12 bulan; dan atau c. tunjangan kehilangan pendapatan dari pemanfaatan tanah.

“Berdasarkan penetapan gubernur sebagaimana dimaksud, kementerian/lembaga, pemerintah daerah, badan usaha milik negara, atau badan usaha milik daerah melaksanakan pemberian santunan kepada Masyarakat,” bunyi Pasal 10.

Ditegaskan dalam Perpres ini, pemberian santunan yang berupa uang dapat diberikan dalam bentuk tunai atau melalui transaksi perbankan, dan pelaksanaan pemberian santunan dibantu oleh Tim Terpadu dan didukung aparat keamanan apabila diperlukan.

Setelah itu, tanah yang telah dilakukan pemberian santunan, menurut Perpres ini, dilakukan pengosongan oleh masyarakat paling lama 7 (tujuh) hari sejak diterimanya santunan. Ketentuan lebih lanjut mengenai pelaksanaan Peraturan Presiden ini diatur dengan Peraturan Menteri yang membidangi penyelenggaraan urusan pertanahan, dan ditetapkan paling lama 30 hari sejak diundangkannya Peraturan Presiden ini.

Adapun Peraturan Presiden ini mulai berlaku pada tanggal diundangkan oleh Menteri Hukum dan HAM Yasonna H. Laoly pada 10 Agustus 2018.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Editor: Narita Indrastiti