Presiden: Waspadai gejolak ekonomi Kebijakan BI



JAKARTA. Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY)  meminta  menteri-menterinya waspada terhadap situasi ekonomi saat ini. Pemulihan krisis ekonomi global yang belum tampak ujungnya membuat ekonomi Indonesia ikut  terpapar.  

Makanya, "Saya mengajak semua pihak untuk mengelola kondisi ini dengan seksama, tidak lalai," ujar SBY dalam rapat kabinet di Istana Negara, Kamis (14/11). Permintaan ini beralasan. Apalagi, sejumlah indikator ekonomi belakangan menunjukan sinyal merah. Lihat saja, nilai tukar rupiah yang merosot hingga Rp 11.644 per US$ pada hari Rabu (13/11).

Meski sempat rebound ke level Rp 11.546 per US$ pada Kamis (14/11), namun sepanjang tahun 2013 (year to date), rupiah sudah melemah 15,17%, paling besar diantara negara kawasan.


Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) juga menunjukan pelemahan. Ini merupakan respon negatif atas terus terjadinya defisit neraca transaksi berjalan atau current account deficit (CAD) yang kuartal III 2013 sebesar US$ 8,5 miliar.

Ekonom Danareksa Institute Purbaya Yudhi Sadewa mengatakan, kondisi ekonomi saat ini tidak lepas dari kesalahan pemerintah yang mendesain ekonomi, yakni bertujuan untuk mengundang investor asing. Kebijakan BI rate yang naik tinggi.

Kata Purbaya, ini menyebabkan investor asing lebih suka memburu untung sesaat. Akibatnya, ketika terjadi sedikit gejolak di pasar modal dan pasar surat berharga, para pencari untung sesaat ini langsung pergi meninggalkan Indonesia.

Kondisi ini membuat investor asing pemburu rente ini acap kali menggiring BI  agar menaikkan BI rate. "Jika BI atau pemerintah tak segera mengubah kebijakan, Indonesia akan terperosok dalam fase pelambatan yang bisa menuju fase yang lebih parah," kata Purbaya.

Namun, kata Gubernur BI Agus Martowardojo,  BI hanya bisa merespon kondisi ekonomi dengan kebijakan moneter, Menurut Agus, kebijakan kenaikan BI rate sudah tepat saat ini.

Ada pun kata Menteri Keuangan Chatib Basri, kondisi fundamental ekonomi Indonesia yang buruk tak bisa dipulihkan sekejap dengan satu atau dua kebijakan. Kebijakan insentif semisal baru yang dirasakan tahun depan.

Namun, Destry Damayanti, ekonom Bank Mandiri menilai bahwa ekonomi Indonesia rapuh terpicu tingginya konsumsi domestik. Ini membuat Indonesia memiliki ketergantungan tinggi pada impor.

Pemulihan ekonomi global yang masih seret serta belum terselesaikannya masalah domestik menjadikan pertumbuhan ekonomi Indonesia diperkirakan hanya 5,7%, lebih rendah dibanding capaian tahun lalu yang 6,2%. Angka ini, kata Agus masih lebih tinggi jika dibandingkan dengan negara-negara setingkat Indonesia yang diperkirakan rata -rata cuma sekitar 3,6%.     

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Editor: Barratut Taqiyyah Rafie