Presidensi Indonesia di G20 Bisa Dimanfaatkan untuk Mendukung Transisi Energi



KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Peran Indonesia sebagai tuan rumah G20 dinilai memberi peluang bagi Indonesia untuk membangun kerja sama dan mencari dukungan dari negara-negara G20 dalam mencapai target Net Zero Emission/NZE pada tahun 2060 atau lebih awal. 

Project Manager–Clean, Affordable, and Secure Energy for Southeast Asia (CASE) – IESR,  Agus. P. Tampubolon mengatakan, sebagai tuan rumah, Indonesia memiliki hak-hak untuk menentukan tema-tema untuk dibahas dalam forum-forum yang ada, termasuk mengikutsertakan tema  tema transisi energi.

“Ketika kita sebagai pemegang presidensi mengikutsertakan tema transisi energi dalam agenda G20 nya, berarti ke depannya bisa membahas apa-apa saja intervensi, bentuk komitmen, atau dukungan seperti apa yang dibutuhkan Indonesia untuk mencapai target-target transisi yang ditetapkan,” ujar Agus ketika ditemui di Jakarta pekan lalu.


Di samping mendapat keleluasaan untuk menentukan tema, momentum Presidensi Indonesia juga dinilai bisa memudahkan Indonesia dalam menggalang dana untuk pengembangan proyek-proyek pembangkit listrik energi baru terbarukan (EBT). 

Baca Juga: Negara Barat Ancam Lakukan Walk-Out Jika Rusia Tetap Diundang ke KTT G20

Sustainable Energy Finance Advisor, Deputy Programme Manager GIZ Indonesia, Deni Gumilang mengatakan, momentum forum-forum internasional seperti G20 bisa memberi kesempatan bagi Indonesia untuk memobilisasi pendanaan dari penyedia-penyedia dana di tingkat global dan regional.

“Misalnya saat itu hasil pertemuan di COP 26 ADB World Bank dan Rockefeller Foundation, serta negara US dan UK menyatakan kesediaan membantu Indonesia misalnya,” tutur Deni ketika ditemui di waktu dan tempat yang sama.

Deni dan Agus sama-sama sepakat bahwa  pendanaan infrastruktur energi terbarukan merupakan faktor penting dalam mengakselerasi transisi energi di Indonesia. 

Menurut hasil simulasi yang dilakukan CASE pada tahun 2021, kebutuhan investasi pembangkit pada tahun 2021 – 2060 mencapai sekitar US$ 1.131 miliar (simulasi terus dilakukan dan data bisa berubah) guna mencapai target NZE Indonesia. 

Dirjen EBTKE menyampaikan informasi di tahun ini bahwa Indonesia membutuhkan total investasi sebesar US$ 1.177 miliar untuk membangun kapasitas terpasang sebesar 587 GW dari energi terbarukan pada tahun 2060. Sebanyak US$1.042 miliar di antaranya untuk investasi pembangkit listrik, sedang US$135 miliar lainnya untuk sistem transmisi.

Menurut Deni, opsi pendanaan dari tingkat global dan regional sejatinya cukup banyak. Ada yang bisa didapat melalui skema bilateral seperti melalui soft loan, grants, dan masih banyak lagi melalui lembaga-lembaga seperti misalnya GIZ Jerman, ada pula yang yang melalui skema multilateral seperti energy transition mechanism yang disediakan oleh Asian Development Bank (ADB). 

“Sebenarnya instrumennya banyak, hanya key issuesnya itu pertama misalnya masalah institusi. Institusi yang memobilisasi atau institusi yang menyalurkan, sudah tersedia atau belum? sudah siap atau belum? kondisi legal negara kita atau integrasi aturan misalnya bagaimana, apakah sudah ada atau tidak, apakah risikonya masih besar atau tidak?” tutur Deni.

Studi sintesa alias synthesis study bertajuk “De-Risking Facilities For The Development Of Indonesia’s Renewable Power Sector” 2 yang dilakukan CASE Indonesia pada tahun 2021 sendiri menunjukkan bahwa saat ini Indonesia perlu memprioritaskan instrumen de-risking kebijakan daripada instrumen derisking keuangan. 

Prioritas instrumen de-risking kebijakan, menurut CASE Indonesia, diperlukan karena isu-isu yang lebih banyak dihadapi pada saat ini adalah pada aspek regulasi. CASE Indonesia menilai, kerangka peraturan yang lebih baik dan lingkungan bisnis yang ramah untuk pertumbuhan energi terbarukan akan dapat menciptakan landasan yang kokoh terkait mobilisasi pendanaan dan mekanisme pembiayaan ke depannya.

Baca Juga: Upaya Diplomasi Sukseskan G20

Kondisi tersebut dapat dipenuhi melalui beberapa implementasi instrumen de-risking kebijakan. Pertama, meningkatkan target dan kebijakan energi terbarukan terutama dalam hal kejelasan, konsistensi, kredibilitas, dan koherensinya. 

Kedua, reformasi kebijakan insentif dan penetapan harga, khususnya kebijakan penetapan harga dan subsidi yang berfokus pada energi terbarukan. Ketiga, menciptakan proses perijinan dan pengadaan yang efektif dan efisien untuk memberikan keamanan dan kepastian investasi. 

Keempat, meningkatkan kualitas manajemen risiko proyek dengan memberikan standar, peringkat, dan dukungan teknis. “Kelima, meningkatkan kelayakan & kredibilitas proyek dengan memfasilitasi penelitian, pengembangan proyek, serta pengembangan kapasitas,” tulis CASE Indonesia dalam siaran pers yang dirilis beberapa waktu lalu.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Editor: Handoyo .