JAKARTA. Kebijakan Bank Indonesia (BI) mengumumkan prime lending rate tidak akan efektif untuk menurunkan bunga kredit. Pasalnya, bunga kredit yang ada saat ini sudah sesuai dengan mekanisme pasar.Ketua Perhimpunan Bank-Bank Nasional (Perbanas), Sigit Pramono mengatakan, langkah BI itu sebagai konsepsi yang keliru. Menurutnya, bunga kredit bank ditentukan beberapa komponen seperti cost of fund, biaya overhead, margin dan premi resiko. "Taruhlah cost of fund, biaya overhead dan margin bisa diturunkan melalui efisiensi, tetapi premi resiko tidak dapat diturunkan karena menyangkut loanable nasabah," ujarnya.Lagipula, sigit menyebut tidak semua sektor usaha mempermasalahkan suku bunga kredit yang tinggi. Misalnya, sektor usaha mikro, kecil, dan menengah (UMKM). Adapun, masalah utama yang mereka hadapi adalah akses untuk mendapat pinjaman. Sigit menambahkan jika kebijakan tersebut berasal dari suatu sektor yang mempermasalahkan tingginya bunga kredit, ada baiknya BI, berdiskusi dengan perbankan dan pemerintah. "Dicari solusi apa yang menyebabkan sektor ini mendapatkan bunga tinggi, apakah dengan cara memotong margin bunga bank yang diganti dengan insentif pajak atau kebijakan lainnya," ujarnya.Sigit khawatir, kebijakan ini bisa menimbulkan kesalahpahaman antara calon debitur dengan bank mengenai penentuan suku bunga (pricing). Pasalnya nasabah dikenakan bunga lebih tinggi ketimbang besaran bunga yang diumumkan perbankan di media massa. "Premi resiko bank tak mungkin dinegosiasikan ini yang membuat bunga kredit antar setiap debitur berbeda," lanjutnya.Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Prime Lending Rate tak efektif turunkan bunga kredit
JAKARTA. Kebijakan Bank Indonesia (BI) mengumumkan prime lending rate tidak akan efektif untuk menurunkan bunga kredit. Pasalnya, bunga kredit yang ada saat ini sudah sesuai dengan mekanisme pasar.Ketua Perhimpunan Bank-Bank Nasional (Perbanas), Sigit Pramono mengatakan, langkah BI itu sebagai konsepsi yang keliru. Menurutnya, bunga kredit bank ditentukan beberapa komponen seperti cost of fund, biaya overhead, margin dan premi resiko. "Taruhlah cost of fund, biaya overhead dan margin bisa diturunkan melalui efisiensi, tetapi premi resiko tidak dapat diturunkan karena menyangkut loanable nasabah," ujarnya.Lagipula, sigit menyebut tidak semua sektor usaha mempermasalahkan suku bunga kredit yang tinggi. Misalnya, sektor usaha mikro, kecil, dan menengah (UMKM). Adapun, masalah utama yang mereka hadapi adalah akses untuk mendapat pinjaman. Sigit menambahkan jika kebijakan tersebut berasal dari suatu sektor yang mempermasalahkan tingginya bunga kredit, ada baiknya BI, berdiskusi dengan perbankan dan pemerintah. "Dicari solusi apa yang menyebabkan sektor ini mendapatkan bunga tinggi, apakah dengan cara memotong margin bunga bank yang diganti dengan insentif pajak atau kebijakan lainnya," ujarnya.Sigit khawatir, kebijakan ini bisa menimbulkan kesalahpahaman antara calon debitur dengan bank mengenai penentuan suku bunga (pricing). Pasalnya nasabah dikenakan bunga lebih tinggi ketimbang besaran bunga yang diumumkan perbankan di media massa. "Premi resiko bank tak mungkin dinegosiasikan ini yang membuat bunga kredit antar setiap debitur berbeda," lanjutnya.Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News