Belakangan banyak pihak ramai menyoal pernyataan pemerintah bahwa hak guna usaha (HGU) dikecualikan dari data yang bisa diakses oleh publik. Pro dan kontra di masyarakat berawal dari surat Deputi Bidang Koordinasi Pangan dan Pertanian Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian yang menyatakan, akses HGU ditutup dari masyarakat luas. Sebagian masyarakat pro alias membenarkan pernyataan tersebut. Bagi mereka, logikanya HGU adalah bukti kepemilikan aset sehingga seharusnya berada dalam ranah privat. Sebaliknya bagi pihak yang menentang HGU dikecualikan dari data yang bisa diakses publik, persepsinya adalah HGU merupakan output dari keputusan pemerintah selaku pejabat administrasi. Sehingga, mengacu pada asas-asas umum pemerintahan yang baik (AAUPB), di mana salah satunya adalah asas transparansi, maka publik harus memiliki akses guna berpartisipasi mengawal dan memastikan tidak ada penyimpangan dari keputusan pemerintah.
Sengkarut mengenai pertentangan tersebut telah sampai di level operasional. Dalam hal ini, juga terdapat pertentangan antara peraturan perundangan-undangan yang berlaku dan putusan pengadilan terkait akses data HGU. Mengacu Pasal 187 dan Pasal 190 Peraturan Menteri Negara Agraria/Kepala Badan Pertanahan Nasional (BPN) Nomor 3 Tahun 1997 dan Pasal 34 dan 35 Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997, seharusnya HGU tidak dapat diakses oleh publik. Menjadi persoalan ketika berlaku UU Nomor 14 Tahun 2008 tentang Keterbukaan Informasi Publik (KIP). Puncaknya, berdasarkan UU KIP, beberapa elemen masyarakat menggugat untuk memperoleh akses terhadap HGU. Dan, putusan Komisi Informasi Publik dan Mahkamah Agung (MA) menyatakan, bahwa publik bisa memiliki akses terhadap HGU. Keputusan ini tertuang dalam Putusan Komisi Informasi Publik Nomor 057/XII/KIP.PS/2015 juncto Putusan MA Nomor 121/K/TUN/2017 yang menyebutkan, HGU dapat diakses secara umum dan bukan bersifat pribadi. Namun, hingga saat ini publik tetap tidak bisa mendapatkan akses atas HGU yang telah diterbitkan pemerintah. Pasalnya pemerintah, dalam hal ini BPN, berdalih bahwa "syarat dan kondisi" untuk memperoleh akses terhadap HGU tidak diatur dalam putusan Komisi Informasi Publik Nomor 057/XII/KIP.PS/2015 juncto Putusan MA Nomor 121/K/TUN/2017. Jika mengacu pada putusan tersebut, pernyataan pemerintah bahwa HGU tidak bisa diakses oleh masyarakat luas adalah keliru. Selama putusan Komisi Informasi Publik dan MA belum dibatalkan atau dikoreksi oleh putusan lain, maka BPN wajib menjalankan isi putusan tersebut. Hanya persoalannya, kedua putusan itu tidak implementatif. Tidak implementatif artinya, tidak serta merta bisa menjadi dasar bagi masyarakat dalam memperoleh akses atas HGU dan berpartisipasi dalam pengawasan penerbitan dan penggunaan. Tindak lanjut Jika mengacu pada kedua putusan tersebut, kini ada dua opsi untuk menindaklanjuti putusan Komisi Informasi dan MA. Pertama, melalui jalur eksekutif. Guna melaksanakan putusan Komisi Informasi Publik dan MA tersebut, maka pemerintah dalam hal ini BPN, menerbitkan peraturan yang memuat syarat dan tatacara bagi masyarakat untuk memperoleh akses terhadap HGU. Kedua, melalui jalur yudikatif. Masyarakat bisa menggugat BPN ketika ditolak untuk mendapatkan akses atas HGU. Dalam putusan kasus tersebut, majelis hakim bisa menjelaskan kualifikasi atas kondisi untuk pemberian akses terhadap HGU pada masyarakat. Melalui dua opsi tersebut, kekosongan hukum yang tercipta dalam Putusan Komisi Informasi Publik Nomor 057/XII/KIP.PS/2015 juncto Putusan MA Nomor 121/K/TUN/2017 mendapatkan solusi dan tindak lanjut. Sehingga, tidak lagi menjadi perdebatan. Lotulung (1995) menjelaskan, bahwa dalam hal terjadinya kekosongan hukum, maka solusi yang terbaik adalah pemerintah menerbitkan aturan baru untuk memperjelas. Dalam hal ini kementerian dan lembaga terkait, yakni BPN dan Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian merumuskan peraturan guna mengakomodasi kedua putusan tersebut, sekaligus menjawab syarat dan kondisi bagi masyarakat untuk memperoleh akses terhadap HGU yang diterbitkan pemerintah. Peraturan tersebut juga sekaligus bisa merevisi beberapa ketentuan dalam Peraturan Menteri Negara Agraria/Kepala BPN Nomor 3 Tahun 1997 dan Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997 yang menyatakan, bahwa HGU tidak dapat diakses oleh publik. Secara logika, sebenarnya tidak ada yang perlu dikhawatirkan jika HGU diperoleh dengan proses benar. Tetapi persoalannya, kadang-kadang standar penerbitan sertifikat HGU berbeda, dan saat ini masih banyak dijumpai sertifikat "ganda" dan tumpang-tindih. Hal semacam ini juga terjadi karena di antara instansi daerah belum mempunyai satu peta yang sama. Misalnya, dinas perkebunan dan dinas ESDM maupun dinas kehutanan belum memiliki satu peta yang sama. Bahkan, sesuai laporan tim Gerakan Nasional Penyelamatan Sumber Daya Alam (GNP-SDA) yang dibentuk Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), saat ini banyak penerbitan perizinan di daerah yang mendasarkan pada peta indikatif (padahal perizinan tersebut dipergunakan sebagai dasar pembuatan HGU). Balitbang Kementerian Pertanian (2002) mendefinisikan peta indikatif sebagai perkiraan yang dianggap benar hingga dibuktikan sebaliknya. Dus, hal inilah yang kerap kali membuat sebuah HGU menjadi bermasalah.
Kenyataannya, program kebijakan satu peta ( one map policy) yang digagas pemerintah hingga kini belum terkoneksi dengan pembuatan dan ploting area HGU. Sehingga, masyarakat tetap tidak bisa berpartisipasi melakukan pengawasan. Dan pada akhirnya, proses penerbitan HGU dipandang mengesampingkan aspek transparansi. Sebaliknya, keberatan pemegang HGU terhadap pemberian akses data HGU kepada masyarakat juga dapat dipahami. Dalam perspektif privat, HGU adalah bukti kepemilikan aset. Akses kepada masyarakat luas tanpa ada regulasi yang mengatur tentang penggunaan dan pertanggungjawaban pada penggunaan data tersebut membuat kekhawatiran pemegang HGU bisa dipahami. Dalam hal ini, pemerintah harus mewujudkan kepastian hukum dan tetap memberi perlindungan hukum pada pemegang HGU sah dari segala bentuk gangguan (termasuk kampanye hitam).♦
Rio Christiawan Dosen Hukum Universitas Prasetiya Mulya Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News Editor: Tri Adi