KONTAN.CO.ID - Non-fungible Tokens (NFT) telah menjadi fenomena yang menarik perhatian global. Namun, popularitas NFT ini juga mendatangkan kritik, terutama terkait dampak lingkungannya yang signifikan karena penggunaan energi yang tinggi dalam proses transaksinya. Dikutip dari Pintu Academy, NFT adalah aset digital yang unik dan tidak dapat dipertukarkan, dan NFT disimpan dalam teknologi blockchain. Karya-karya seni digital dalam bentuk NFT telah terjual hingga jutaan dolar, yang menunjukkan nilai dan permintaan yang tinggi terhadap mereka. Di tengah popularitasnya, NFT mendapatkan kritik yang berfokus pada konsumsi energi besar dari jaringan blockchain seperti Ethereum yang menggunakan mekanisme proof-of-work (PoW). Jaringan ini membutuhkan daya listrik besar yang menghasilkan emisi karbon signifikan, sehingga membawa dampak negatif terhadap lingkungan.
Transaksi NFT pada jaringan Ethereum menggunakan jumlah energi yang besar, dengan penelitian menunjukkan bahwa Ethereum mengkonsumsi 23 terawatt jam per tahun, menghasilkan emisi karbon sekitar 7 megaton CO2 per tahun. Ini setara dengan konsumsi energi tahunan negara-negara kecil hingga penggunaan beberapa pembangkit listrik batu bara.