KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Pengembangan proyek reklamasi di berbagai belahan dunia bukan hal yang baru. Banyak negara yang sudah sukes melakukan pembangunan di atas pulau buatan seperti Dubai, Singapura, Hongkong, Mongolia dan banyak lagi. Tetapi di Indonesia, pengembangan proyek-proyek reklamasi selalu bermasalah. Penolakan-penolakan terus saja datang, bahkan ada rencana pengembangan pulau buatan itu berkali-kali keluar masuk meja hijau. Jika dibelahan lain kesuksesan reklamasi sudah terpampang nyata sukses, lalu mengapa di dalam negeri harus penuh liku? Ketua Umum Ikatan Ahli Perencanaan (IAP) Bernardus Djonoputro mengatakan, semua proyek reklamasi di dunia selalu mengundang pro dan kontrak secara politis. Namun menurutnya itu hal yang wajar.
Bernardus melihat, reklamasi bukan suatu yang salah. Itu adalah hal yang lazim dilakukan asalkan dilakukan dengan memperhatikan kaidah teknis, lingkungan dan sosial. Pengembangan reklamasi diperlukan oleh Pemerintah Kota tertentu karena ingin membuat suatu kota yang rapi dan penuh perencanaan sejak awal. "Jika mengikuti aturan, seharus protes-protes itu tidak jadi kendala," katanya. Namun, yang jadi persoalan saat ini dalam pengembangan proyek reklamasi dalam negeri adalah adanya tumpang tindih di banyak aturan. Sementara saat ini, ada lebih dari 30 proyek reklamasi yang sedang dipersiapkan. Lalu dengan tumpang tindih, bagaimana pengembang harus mengikuti perizinan yang mana agar bisa merealisasikan proyek reklamasi? Menurut Bernardus diperlukan ketegasan Pemerintah Daerah dalam hal ini untuk mendudukkan semua pihak terkait dalam satu meja. "Tetapi aturan utama yang harus dipenuhi adalah tata ruang dan penetapan zona perkotaan," jelas Bernardus. Direktur Eksekutif Indonesia Property Watch (IPW), Ali Tranghanda juga menilai ketegasan pemerintah sangat diperlukan dalam mengakomodasi tumpang tindih aturan yang ada. Menurutnya, proyek reklamasi tidak bisa dibatalkan begitu saja. Tetapi harus mendorong pengembang untuk melengkapi segala perizinan. Penolakan yang sering terjadi dalam pengembangan reklamasi datang dari pihak-pihak yang mengangkat isu lingkungan hidup. Tetapi menurut Ali, penolakan tersebut seringkali berlebihan. Jika pengembang sudah mendapatkan izin Amdal maka seharusnya sudah mengakomodasi semua yang dianggap akan merusak lingkungan. "Pengembang pasti sudah mengakomidaasi dampak terhadap lingkungan dalam master plantnya." kata Ali. Oleh karena itu, sosiasasi pengembang terkait penanganan dampak pengembangan terhadap lingkungan kepada semua pihak diperlukan. Apalagi, penolakan dari berbagai kelompok masyarakat tidak semua murni mengusung isu lingkungan. Menurut Ali, selalu ada yang ditumpangi oleh kepentingan politik.
Sementara Pengamat tata kota, Yayat Supriatna, melihat pemasalahan pengembangan reklamasi timbul karena pembangunan dilakukan di atas flafform bersama sehingga ada pihak yang pro lingkungan dan ada pihak yang berorientasi pengembangan bisnis. Terjadi sebuah kontestasi kepentingan. Guna mengurai persoalan itu, maka pengembangan yang memiliki kepentingan ekonomi harus juga bisa memberikan kontribusi pada pemeliharaan lingkungan. Jangan sampai saat proyek rampung, biaya lingkungan menjadi eksternal cost yang nantinya dibebankan pada APBD. "Pemeliharaan lingkungan setelah proyek itu jadi harus jadi bagian dari investasi dan itu harus dibuktikan kepada masyarakat dalam master plan pengembangan," jelas Yayat. Jika pengembang sudah bisa membuktikan bisa turut berperan dalam perbaikan kualitas lingkungan, dan masyarakat yang terkena dampak dari proyek tersebut mendapatkan nilai tambah maka menurut Yayat proyek reklamasi patut didukung. Selain itu, pengembangan juga harus memiliki acuan hukum dan tata ruang yang jelas. Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News Editor: Herlina Kartika Dewi