JAKARTA. Rekomendasi Komite Ekonomi Nasional (KEN) terhadap perpajakan Indonesia mulai mendapat perhatian. Kali ini, kritik datang dari Wakil Ketua Komisi XI DPR RI Harry Azhar Aziz. Dia menilai, harus ada uji coba terlebih dulu mengenai beberapa masukan yang diberikan KEN.Apalagi dari segi perundang-undangan, rencana tersebut sulit dilakukan karena rekomendasi mengenai perubahan pajak pertambahan nilai (PPn) menjadi pajak penjualan. "Paling tidak ada tiga UU yang harus dirubah kalau mau menggantinya. Lagian melakukan perubahan UU itu tidak mudah," jelasnya, Rabu (13/2).Seperti diketahui, selain mengusulkan perubahan PPn menjadi pajak penghasilan, KEN mengusulkan agar tarif PPN dinaikkan dari 10% menjadi 13%, sementara Pajak Penghasilan (PPh) badan usaha turun dari 25% menjadi 20%. Sedangkan sementara PPh orang pribadi turun dari 30% menjadi 25%. Tak ketinggalan adalah mengenai PPh final untuk dividen dipangkas dari 10% menjadi 0%.Rencana penurunan pada PPh dan kenaikan pada PPN pun dinilai politisi asal PDIP ini hanya akan menguntungkan wajib pajak pribadi kaya dan juga wajib pajak badan besar. Apalagi jika pajak penjualan diterapkan menggantikan PPn, maka dampaknya akan langsung terasa pada masyarakat bawah."Kenaikan dari 10% ke 13% (PPn) ini kan terakumulasi di konsumsi dan tidak akan terasa bagi orang kaya, tapi bagi masyarakat kecil kan akan terasa sekali," jelasnya. Tak mengherankan jika hal itu dapat membuat semakin lebarnya gap antara kaya dan miskin.Sementara itu Ekonom Bank Permata Tony A. Prasetiantono menyebut seharusnya Ditjen Pajak lebih bijaksana dalam mentukan instrumen pajak yang akan dikelaurkan. "Jangan sampai rencana penarikan pajak tersebut malah akan mematikan perekonomian," tegasnya.Namun hal berbeda justru diungkapkan Pengamat Ekonomi Iman Sugema yang menilai kondisi masyarakat saat ini memang lebih cenderung menyukai administrasi yang lebih mudah walaupun pembayarannya harus lebih mahal. Jadi opsi pajak penjualan memang cukup relevan.Selama ini pengurusan PPn cenderung lebih rumit karena didalamnya terdapat pajak masukan dan pajak keluaran. Sedangkan pajak penjualan jauh lebih mudah tapi rawan terkena dobel tax.Selain itu, Indonesia belum seperti negara maju lainnya yang sektor formalnya jauh lebih berkembang. Sehingga barang yang masuk sudah dijual secara formal dan sudah dikenakan PPn. Sementara di Indonesia masih banyak penjualan secara informal yang membuat barang tersebut tidak dikenakan PPn. "Jadi wajar kalau sudah banyak negara maju yang akhirnya pindah dari pajak penjualan ke PPn," tambahnya.Lebih lanjut, Iman menyarankan agar Direktorat Jenderal Pajak tidak hanya terpaku dengan membuat aturan untuk mengumpulkan pajak "receh". Menurutnya, yang seharusnya lebih dikejar adalah penerimaan pajak dari wajib pajak besar karena lebih berpotensi menambahkan kenaikan penerimaan pajak.Iman juga menerangkan, sektor yang sedang booming seperti sektor transportasi, telekomunikasi, tambang dan juga keuangan yang skalanya besar juga seharusnya diincar. Nah, walaupun tahun lalu pertumbuhan ekonomi di sektor pertanian mengalami kenaikan melebihi target, Iman masih melihat belum ada potensi besar di sektor tersebut.Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Pro-kontra pajak rekomendasi KEN mulai bergulir
JAKARTA. Rekomendasi Komite Ekonomi Nasional (KEN) terhadap perpajakan Indonesia mulai mendapat perhatian. Kali ini, kritik datang dari Wakil Ketua Komisi XI DPR RI Harry Azhar Aziz. Dia menilai, harus ada uji coba terlebih dulu mengenai beberapa masukan yang diberikan KEN.Apalagi dari segi perundang-undangan, rencana tersebut sulit dilakukan karena rekomendasi mengenai perubahan pajak pertambahan nilai (PPn) menjadi pajak penjualan. "Paling tidak ada tiga UU yang harus dirubah kalau mau menggantinya. Lagian melakukan perubahan UU itu tidak mudah," jelasnya, Rabu (13/2).Seperti diketahui, selain mengusulkan perubahan PPn menjadi pajak penghasilan, KEN mengusulkan agar tarif PPN dinaikkan dari 10% menjadi 13%, sementara Pajak Penghasilan (PPh) badan usaha turun dari 25% menjadi 20%. Sedangkan sementara PPh orang pribadi turun dari 30% menjadi 25%. Tak ketinggalan adalah mengenai PPh final untuk dividen dipangkas dari 10% menjadi 0%.Rencana penurunan pada PPh dan kenaikan pada PPN pun dinilai politisi asal PDIP ini hanya akan menguntungkan wajib pajak pribadi kaya dan juga wajib pajak badan besar. Apalagi jika pajak penjualan diterapkan menggantikan PPn, maka dampaknya akan langsung terasa pada masyarakat bawah."Kenaikan dari 10% ke 13% (PPn) ini kan terakumulasi di konsumsi dan tidak akan terasa bagi orang kaya, tapi bagi masyarakat kecil kan akan terasa sekali," jelasnya. Tak mengherankan jika hal itu dapat membuat semakin lebarnya gap antara kaya dan miskin.Sementara itu Ekonom Bank Permata Tony A. Prasetiantono menyebut seharusnya Ditjen Pajak lebih bijaksana dalam mentukan instrumen pajak yang akan dikelaurkan. "Jangan sampai rencana penarikan pajak tersebut malah akan mematikan perekonomian," tegasnya.Namun hal berbeda justru diungkapkan Pengamat Ekonomi Iman Sugema yang menilai kondisi masyarakat saat ini memang lebih cenderung menyukai administrasi yang lebih mudah walaupun pembayarannya harus lebih mahal. Jadi opsi pajak penjualan memang cukup relevan.Selama ini pengurusan PPn cenderung lebih rumit karena didalamnya terdapat pajak masukan dan pajak keluaran. Sedangkan pajak penjualan jauh lebih mudah tapi rawan terkena dobel tax.Selain itu, Indonesia belum seperti negara maju lainnya yang sektor formalnya jauh lebih berkembang. Sehingga barang yang masuk sudah dijual secara formal dan sudah dikenakan PPn. Sementara di Indonesia masih banyak penjualan secara informal yang membuat barang tersebut tidak dikenakan PPn. "Jadi wajar kalau sudah banyak negara maju yang akhirnya pindah dari pajak penjualan ke PPn," tambahnya.Lebih lanjut, Iman menyarankan agar Direktorat Jenderal Pajak tidak hanya terpaku dengan membuat aturan untuk mengumpulkan pajak "receh". Menurutnya, yang seharusnya lebih dikejar adalah penerimaan pajak dari wajib pajak besar karena lebih berpotensi menambahkan kenaikan penerimaan pajak.Iman juga menerangkan, sektor yang sedang booming seperti sektor transportasi, telekomunikasi, tambang dan juga keuangan yang skalanya besar juga seharusnya diincar. Nah, walaupun tahun lalu pertumbuhan ekonomi di sektor pertanian mengalami kenaikan melebihi target, Iman masih melihat belum ada potensi besar di sektor tersebut.Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News