Produk China masih mendominasi pasar



JAKARTA. Produk buatan China terus mendominasi di pasaran. Bukan hanya produk elektronik, tapi hampir semua jenis barang di pasaran, banyak yang bermerek China. Namun, pemerintah optimistis, Indonesia bisa membalikkan keadaan dengan lebih banyak menjual produk ke China pada akhir tahun nanti.

Berdasarkan pantauan KONTAN di Pasar Tanah Abang, Jakarta, produk garmen asal negara Tirai Bambu itu ada di semua jenis pakaian dan produk kain. Mulai dari baju koko, pakaian anak-anak dan dewasa, hingga sprei juga sudah masuk ke pusat grosir tekstil terbesar di Asia Tenggara itu. "Bila dibandingkan produk lokal, pakaian jadi asal China malah lebih mudah ditemukan," kata Haris, salah satu pedagang di Pasar Tanah Abang, Senin (15/8).

Para pedagang terpaksa menjual pakaian dari China karena pasokan yang melimpah dan harganya lebih murah. Bandingkan dengan pakaian dari dalam negeri, stoknya terbatas dan harganya terus meningkat. Haris mencontohkan, saat ini harga bahan baku blue jeans buatan lokal sudah naik dari Rp 28.000 menjadi Rp 54.000 per yard.


Memang, Kementrian Perdagangan (Kemdag) mencatat, produk China semakin menyerbu Indonesia. Lihat saja nilai impor dari China mencapai US$ 12,05 miliar pada Januari - Juni 2011, tumbuh 33,29% dari periode sama tahun lalu. "Kita memang terus mengimpor dari China, tapi ekspor juga terus diperbesar," ujar Franky Sibarani, Wakil Sekretaris Umum Gabungan Pengusaha Ekspor Indonesia (GPEI).

Pada periode itu, nilai ekspor ke China sebesar US$ 8,953 miliar di sepanjang Januari - Juni 2011. Ini merupakan prestasi, karena penjualan itu tumbuh 47,82% dari periode sama tahun lalu yang hanya US$ 6,05 miliar.

Surplus

Deddy Saleh, Direktur Jenderal Perdagangan Luar Negeri Kemdag, optimistis, produk Indonesia yang terjual ke China bakal semakin besar di sepanjang semester II ini. Bukan hanya volume saja, tapi juga nilainya semakin tinggi. Alasannya, selama ini Indonesia banyak mengimpor bahan baku dari China. Kemudian, bahan baku itu diolah menjadi produk yang lebih bernilai. "Nilai dan keuntungan kita jauh lebih banyak," terang Deddy.

Lihat saja, nilai ekspor RI ke China makin besar tiap bulannya. Sebagai gambarannya, pada awal Januari 2011, ekspor RI ke China sebesar US$ 1,15 miliar. Pada Juni 2011 ini, ekspor RI ke China bisa mencapai US$ 1,93 miliar. "Jika dihitung, akhir tahun nanti, perdagangan kita dengan China sudah surplus," papar Deddy. Komoditas yang mendorong ekspor tersebut adalah Kelapa Sawit dan batubara.

Hal ini karena, saat ekspor semakin besar, nilai impor dari China semakin turun. "Bahkan, ekspor kita China, malah lebih besar daripada ke Amerika Serikat dan Eropa yang selama ini mendominasi," tandas Mari Elka Pangestu, Menteri Perdagangan. Ekspor ke AS hanya sekitar 9,9%, sedang ke China 11,33%.

Menurut Mari, peningkatan nilai ekspor itu lantaran kesepakatan perjanjian perdagangan bebas ASEAN-China Free Trade Area (ACFTA). "Ini sekaligus menunjukkan bahwa ACFTA berhasil menaikan investasi, karena propduk yang diimpor adalah bahan baku," terang Marie.

Namun, Franky menilai, China memang sedang menahan penjualan produknya ke luar negeri sehingga nilai impor dari negara itu tampak melemah. Alasannya, China merencanakan masuk ke industri yang lebih maju. "Jadi kalau kita tidak siap, defisit perdagangan akan semakin lebar lagi, sehingga target pemerintah bakal meleset," ujar Franky.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Editor: Test Test