Produk dalam negeri berpeluang menyasar pasar senilai Rp1.000 triliun



JAKARTA. Kementerian Perindustrian melansir data peluang untuk peningkatan penggunaan produk dalam negeri (P3DN) mencapai Rp1.023,6 triliun. Peluang itu tersebar pada belanja barang dan modal pemerintah pusat, daerah, dan badan usaha milik negara (BUMN) tahun anggaran 2011. "Ini seharusnya menjadi peluang untuk P3DN," ujar Dirjen Industri Berbasis Manufaktur Kementerian Perindustrian Panggah Susanto, Rabu (10/8). Angka sebesar Rp1.023,6 triliun yang menjadi peluang penerapan P3DN itu terbagi menjadi Rp137,8 triliun belanja barang pusat, Rp135,8 triliun belanja modal pusat, Rp 393 triliun belanja daerah, dan Rp 357 triliun belanja BUMN. Jumlah tersebut relatif meningkat setiap tahunnya. Setidaknya untuk belanja pemerintah pusat, belanja barang naik signifikan setiap tahunnya. Pada APBN Perubahan 2010 tercatat belanja barang sebesar Rp112,6 triliun dan belanja modal sebesar Rp95 triliun. Realisasi belanja itu meningkat dari APBN 2009 yang tercatat sebesar Rp 80,7 triliun untuk belanja barang dan Rp 75,9 triliun untuk belanja modal. Industri dalam negeri, ucap Panggah, sebenarnya memiliki potensi untuk menggarap peluang tersebut. Sayangnya, pertumbuhan industri pascakrisis 1998 selalu merapat di bawah pertumbuhan ekonomi. Bahkan, sejak 2006 terutama lantaran ada isu deindustrialisasi malah membuat industri dalam negeri seolah-olah tidak berbuat apa-apa. "Tren penurunan industri terjadi karena kita tidak berbuat hal signifikan. Kesadaran baru muncul ketika ada krisis 2008 yang menimbulkan kecemasan bertindak," tuturnya. Deputi Bidang Industri dan Perdagangan Kementerian Koordinator Perekonomian Edi Putra Irawadi ikut menambahkan, tiga kali krisis yang melanda tetap menempatkan Indonesia pada posisi aman lantaran terselamatkan tingkat konsumsi yang tinggi. Namun, industri tetap merugi lantaran dana yang tersedot badai finansial Amerika Serikat. Kejadian itu selalu terjadi pada angka ekspor dan investasi pada setiap turbulensi. Seharusnya, jika posisi industri kokoh maka ekspor dan investasi tidak akan goyah meski dihempas badai finansial di negara lain. Selama ini industri, ekspor, dan investasi berjalan sendiri-sendiri. Padahal pada era 1987-1988 realisasi ekspor itu terdongkrak industri dan investasi. Tidak mengherankan bila sejak 1997-1998 industri posisinya makin lemah, karena tidak disokong restrukturisasi, besarnya ketergantungan impor, dan tidak ada hilirisasi. "Ketika ada investasi besar malah membawa teknologi bobrok," ujarnya.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News


Editor: Djumyati P.