Produk hilir kayu tak perlu sertifikasi



JAKARTA. Kementerian Perdagangan mengusulkan adanya perubahan lampiran dalam Peraturan Menteri Perdagangan (Permendag) Nomor 64 Tahun 2012 tentang Ketentuan Ekspor Produk Industri Kehutanan. Aturan ini menyebutkan produk kehutanan yang diekspor harus dilengkapi dokumen V-Legal.

Bachrul Chairi, Direktur Jenderal Perdagangan Luar Negeri Kemdag, mengatakan, perubahan dalam kebijakan tersebut utamanya adalah dalam sertifikasi produk turunan dari kayu. "Kalau produk hulunya sudah disertifikasi, turunannya tidak perlu lagi," ungkap Bachrul di Jakarta, pada akhir pekan lalu.

Salah satu produk turunan olahan kayu yang tidak memerlukan proses sertifikasi tersebut adalah kertas tisu. Bachrul berpendapat, bila produk hulu kertas tisu yakni pulp (bubur kertas) sudah bersertifikat, secara otomatis status legalitas produk turunannya akan tetap sama.


Dengan adanya pengecualian tersebut, maka pengawasannya menjadi lebih mudah. Selain itu, produk yang harus dipantau menjadi lebih sedikit, yaitu dari sekitar 26 pos tarif alias harmonized system (HS) turun menjadi hanya 13 HS.

Sebelumnya diberitakan, Direktur Jenderal Bina Usaha Kehutanan Kementerian Kehutanan (Kemhut), Bambang Hendroyono, menyatakan semua produk kayu harus dilengkapi dengan sertifikasi sistem verifikasi legalitas kayu (SVLK). "Tidak hanya kayu, produk turunannya juga harus ada SLVK," ujar Bambang.

Pernyataan Bambang menjawab keluhan para pengusaha kertas tisu atas kebijakan SVLK. Sejumlah produsen tisu sempat gagal mengirim produknya ke luar negeri. Aparat Bea Cukai di Pelabuhan Tanjung Priok dan Pelabuhan Tanjung Perak menahan puluhan kontainer produk tisu lantaran tak dilengkapi sertifikat SVLK atau V-Legal.

PT Graha Kerindo merupakan salah satu produsen tisu yang produk ekspornya tertahan di Tanjung Priok, Jakarta. Graha Kerindo memproduksi tisu dengan merek antara lain Tessa dan Multi (KONTAN, 10 Januari 2013).

Ketua Umum APKI Misbahul Huda juga berpendapat bahwa sertifikasi legalitas kayu seharusnya hanya dilakukan untuk perusahaan yang berkaitan langsung dengan kayu. Produk-produk tersebut adalah pulp dan kertas.

Untuk produk turunan kayu seperti tisu, Misbahul mengganggap hal tersebut tidak perlu disertifikasi lagi. Menurut dia, apabila produk hulu dari kayu tersebut telah disertifikasi, maka secara otomatis produk hilir turunannya juga sudah terjamin legalitasnya.

Di Indonesia, produsen pulp hanya terbatas oleh dua grup besar, yakni Asia Pulp & Paper (APP) milik Grup Sinarmas dan Riau Andalan Pulp and Paper (RAPP) yang dikendalikan pengusaha Sukanto Tanoto. Sedangkan perusahaan produk turunan kayu kebanyakan membeli dari pihak ketiga.

Misbahul menambahkan, beberapa perusahaan produk kertas yang tergabung dalam APKI belum mengurus SVLK. Alasan tersebut dikarenakan tidak semua produk kertas tersebut berasal dari kayu tetapi dari bahan lain yakni jerami atau straw pulp.

Indonesia merupakan negara pionir dalam penerapan sertifikasi legalitas kayu ini. Dengan sertifikasi tersebut, produk-produk kayu asal Indonesia dapat langsung masuk ke negara-negara di Uni Eropa yang akan menerapkan EU Timber Regulation (EUTR) yang berlaku awal Maret 2013.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Editor: Sandy Baskoro