KONTAN.CO.ID - PADANG. Badan Pusat Statistik (BPS) Sumatera Barat mencatat nilai ekspor provinsi ini pada Agustus 2017 mencapai US$ 184,25. Angka ini naik siginifikan, sebesar 70,92% dibandingkan Juli yang hanya US$ 107,80 juta. "Golongan barang ekspor terbesar pada Agustus 2017 adalah lemak dan minyak hewan dan nabati sebesar US$ 138,03 juta," kata Kepala BPS Sumbar Sukardi di Padang, Jumat (15/9). Itu artinya, produk ini menyumbang 75% dari ekspor Sumbar. Selanjutnya diikuti golongan karet dan barang dari karet sebesar US$ 31,80 juta, dan golongan garam, belerang, kapur sebesar US$ 4,24 juta.
Peningkatan ekspor Sumbar pada Agustus 2017 terjadi pada beberapa negara tujuan yaitu India naik sebesar 73,73% dan Amerika Serikat naik sebesar 49,47%. Dari sisi nilai ekspor, pengiriman ke India sebesar US$ 75,94 juta, Amerika Serikat US$ 31,80 juta, Singapura US$ 15,43 juta, Bangladesh US$ 13,29 juta, Spanyol US$ 9,57 juta, dan China US$ 9,24 juta. Delapan bulan Selama periode Januari- Agustus 2017 ekspor ke India memiliki peran yang terbesar terhadap total ekspor Sumatera Barat, yaitu sebesar 38,32%, Amerika Serikat 22,66%, dan Singapura 10,18%. "Dengan demikian, selama Januari-Agustus 2017 peran total ekspor ke tiga negara tersebut mencapai 71,15%," ujarnya. Sejalan dengan itu, ekspor produk industri pengolahan juga mengalami kenaikan sebesar 72,8% dan ekspor sektor pertambangan juga mengalami peningkatan sebesar 60,29%. Kinerja impor Sementara itu, nilai impor Sumatera Barat pada Agustus 2017 mencapai US$ 44,49 juta atau mengalami peningkatan sebesar 16,25% dibandingkan dengan Juli 2017 yang hanya US$ 38,27 juta. Golongan barang impor terbesar Agustus 2017 adalah bahan bakar mineral sebesar US$ 37,75 juta, pupuk US$ 3 juta, dan golongan mesin peralayan mekani sebesar US$ 1,7 juta. Impor terbesar berasal dari Singapura senilai US$ 26,63 juta, dan Malaysia US$ 12,12 juta. Sebelumnya, Deputi Gubernur Senior Bank Indonesia Mirza Adityaswara pada temu wartawan daerah mengatakan, saat ini ekspor dan impor Indonesia mengalami defisit dan jika rupiah terlalu kuat maka yang akan terjadi adalah biaya impor murah sehingga produksi dalam negeri turun. "Akibatnya impor akan semakin besar mengalami defisit dan ekspor menjadi tidak kompetitif," katanya. Mirza menyebutkan pada 2013 ekspor dan impor Indonesia mengalami defisit sekitar US$ 31 miliar, dan pada 2014 sebesar US$ 17 miliar. Pada 2016, defisit sekitar US$ 21 miliar.
Namun menurutnya, pada kurun waktu 2000 sampai 2010 ekspor dan impor Indonesia sempat mengalami surplus karena ketika itu harga komoditas sedang bagus. Ia mengatakan ekspor Indonesia didominasi oleh pertambangan dan perkebunan namun setelah 2010 harga komoditas tersebut turun. Sekadar informasi, Agustus ini, neraca dagang Indonesia mengalami surplus US$ 1,72 miliar. Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News Editor: Sanny Cicilia