Produk Tekstil Impor Ilegal Membanjiri Pasar, APSyFI Sampaikan Sejumlah Rekomendasi



KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Industri tekstil dan produk tekstil (TPT) masih menghadapi rintangan berat lantaran maraknya peredaran produk tekstil impor ilegal di Indonesia. Upaya penindakan tegas harus segera dilakukan pemerintah agar praktik demikian tidak semakin merajalela di kemudian hari.

Merujuk data Asosiasi Produsen Serat dan Benang Filament Indonesia (APSyFI), impor tekstil ilegal atau tak tercatat di Indonesia mencapai 320.000 ton pada 2022 atau naik 12,28% dibandingkan tahun sebelumnya sebesar 285.000 ton.

Jumlah impor tekstil ilegal yang mencapai 320.000 ton ini setara dengan 16.000 kontainer per tahun atau 1.333 kontainer per bulan. Kerugian yang dihasilkan oleh praktik impor tekstil ilegal ini mencapai Rp 32,48 triliun. Pemerintah pun berpotensi kehilangan pendapatan dalam bentuk pajak sebesar Rp 19 triliun.


Ketua Umum APSyFI Redma Gita Wirawasta menyampaikan, dari total 320.000 ton impor tekstil ilegal pada 2022, sebanyak 210.000 ton di antaranya berasal dari China. Sisanya sebanyak 110.000 ton berasal dari India, Korea Selatan, Taiwan, dan lain-lain.

Modus yang paling banyak ditemui dalam praktik impor tekstil ilegal sejauh ini berupa impor unprosedural seperti Borongan, under invoice, transhipmen, dan pelarian HS. “Komposisi modus impor unprosedural sekitar 70%,” kata dia dalam jumpa pers, Jumat (31/3).

Baca Juga: Stop Penyelundupan Pakaian Bekas Impor, Mendag: Beri Kelonggaran bagi Pedagang Kecil

Ia menyebut, importasi tekstil unprosedural ini dilakukan oleh sekitar 60 perusahaan yang dipunyai sekitar 8 orang pengusaha. Mereka melakukan praktik impor tekstil ini dengan berbagai macam cara, termasuk mengantongi izin impor baik Angka Pengenal Importir untuk Perusahaan (API-P) dan Angka Pengenal Impor untuk Umum (API-U) ratusan juta meter per perusahaan.

Para pelaku importasi tekstil unprosedural ini juga kerap bekerja sama dengan oknum Bea Cukai di lapangan, termasuk dengan oknum pemberi izin impor di Kementerian Perdagangan maupun Kementerian Perindustrian.

“Mereka (pelaku) ini main banyak kaki. Jadi pemainnya tidak banyak, tapi punya banyak cara. Satu orang bisa pegang puluhan perusahaan,” ungkap Redma.

Selain itu, modus importasi pakaian bekas memiliki kontribusi 30% dari total impor tekstil ilegal. Para pelaku industri TPT lokal tentu khawatir dengan peredaran pakaian bekas impor. Sebab, beberapa tahun silam impor pakaian bekas porsinya hanya 5% sampai 10% saja.

Tempat-tempat yang menjajakan produk pakaian bekas impor dahulu sangat terbatas. Waktu operasionalnya saja hanya di akhir pekan, layaknya pasar kaget. Sekarang, pakaian bekas impor sudah merajalela di berbagai tempat.

Pakaian bekas impor juga masih mudah ditemukan di berbagai platform e-commerce. Bahkan, APSyFI juga menemukan fakta adanya perusahaan yang menawarkan jasa layanan impor pakaian secara ilegal di platform e-commerce ternama.

“Dahulu pakaian bekas impor hanya masuk lewat pelabuhan-pelabuhan tikus. Sekarang produk tersebut sudah memakai kontainer yang sudah pasti lewat pelabuhan besar,” jelas Redma.

Seluruh modus impor produk tekstil ilegal ini jelas merugikan bagi para pelaku industri TPT nasional. Sebab, di saat para produsen TPT harus menggelontorkan uang banyak untuk produksi dan distribusi, mereka ujung-ujungnya mesti head to head dengan produk tekstil impor ilegal yang tidak bayar pajak dan tidak ada ongkos produksinya, karena berstatus barang bekas.

Baca Juga: Pedagang Pakaian Bekas Impor Pasar Senen Mengaku Kecewa dengan Pemerintah

APSyFI pun merekomendasikan untuk dilakukan penyelidikan menyeluruh atas izin impor yang sudah diberikan dalam 5 tahun terakhir, baik API-P maupun API-U, serta transparansi pemberian izin impor dari Kemendag dan Kemenperin untuk setiap perusahaan.

Di samping itu, APSyFI juga meminta dilakukan penyelidikan atas perusahaan yang memfasilitasi impor Borongan dan undername yang selalu masuk jalur hijau, termasuk kaitannya dengan fasilitas kemudahan jalur hijau yang diberikan oleh oknum Bea Cukai dan transparansi penentuan jalur hijau atau merah.

Tak ketinggalan, APSyFI juga meminta segera dilakukan penangkapan importir pakaian bekas dengan cara tracking dari pedagang offline maupun online.

“Kami sebenarnya bukan meminta perlindungan, tetapi fairness di lapangan. Sebab, sulit bersaing kalau produk yang dihadapi tidak kena pajak,” pungkas Redma.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Editor: Anna Suci Perwitasari