Produk unik dan kreatif enggak cukup di kerajinan



Kerajinan tangan memang identik dengan kreativitas. Tapi, sekadar menghasilkan produk kreatif dan unik enggak menjamin usaha kerajinan bisa sukses, lo. Maklum, banyak tantangan menghadang industri kerajinan.

Di sektor ekonomi kreatif, industri kerajinan menempati peringkat ketiga sebagai kontributor terbesar terhadap produk domestik bruto (PDB) ekonomi kreatif. Tahun 2013 lalu, nilai tambah industri kerajinan sebesar Rp 92,65 triliun atau 14,44% dari total PDB ekonomi kreatif. Nilai tambah industri tersebut terus meningkat yang dibarengi nilai ekspor yang juga terus naik.

Meski terus meningkat, ekspor produk kerajinan dalam lima tahun terakhir sejatinya tergolong lesu. Padahal, produk kerajinan merupakan salah satu komoditas ekspor potensial Indonesia. Taufik Gani, Ketua Asosiasi Industri Permebelan dan Kerajinan Indonesia (Asmindo), mengatakan, pelemahan ekspor produk kerajinan dalam lima tahun belakangan lantaran perekonomian negara-negara tujuan ekspor kerajinan juga lagi lesu.


Cuma tahun ini, Taufik memperkirakan, ekspor produk kerajinan bakal naik signifikan.  Sebab, dalam beberapa kali pameran produk kerajinan di luar negeri akhir tahun lalu, banyak pengusaha kerajinan yang menjadi peserta memperoleh pesanan dalam jumlah besar.

Makanya, Taufik optimistis, ekspor produk mebel dan kerajinan tahun ini bisa mencapai angka US$ 2 miliar. “Ada indikasi pembeli dari luar negeri meningkatkan belanja mebel dan kerajinan, terutama pembeli dari Jerman, Belanda, dan Prancis,” kata Taufik.

Saat ekonomi di negara pembeli lesu, otomatis pasar ekspor produk mebel dan kerajinan ikut loyo. Maklum, mebel dan kerajinan bukan kebutuhan primer. Sebaliknya, saat perekonomian membaik, permintaan produk mebel dan kerajinan biasanya ikut meningkat.

Namun, gairah pasar yang kembali bergairah bukan berarti tantangan industri kerajinan lenyap. Soalnya, industri kerajinan terutama kerajinan berbahan kayu dan rotan harus berhadapan dengan pesaing dari Vietnam, Filipina, serta Malaysia. Memang, bahan baku produk kerajinan di Indonesia melimpah. Sebaliknya, negara-negara kompetitor tidak punya sumber bahan baku seperti kita. Namun kenyataannya, ekspor produk mebel dan kerajinan dari Vietnam dalam setahun mencapai US$ 5 miliar, jauh lebih tinggi ketimbang Indonesia. “Padahal, Vietnam tidak punya bahan baku,” ujar Taufik.

Itu sebabnya, Taufik meminta, pemerintah harus bisa mengatasi penjualan bahan mentah kayu dan rotan dari Indonesia ke luar negeri. Dengan begitu, ekspor produk mebel dan kerajinan dari negara tetangga bakal merosot sehingga pembeli akan beralih ke Indonesia. Untuk memberantas illegal logging dan illegal trading, pemerintah pada 2012 lalu sudah merilis aturan tentang sistem verifikasi dan legalitas kayu (SVLK) yang sedianya mulai berlaku tahun ini. Dengan mengantongi sertifikat legalitas kayu, produk kehutanan asal negeri ini dianggap berasal dari kayu legal, sehingga tak perlu melalui proses uji tuntas di negara pembeli.

Memang, aturan ini semula cukup memberatkan bagi industri kecil dan menengah. Tapi, akhir tahun lalu pemerintah akhirnya menyederhanakan aturan SVLK bagi pelaku usaha mebel dan kerajinan yang berlaku selama setahun. Menteri Perdagangan Rachmat Gobel menyatakan, pelonggaran aturan ini untuk menggenjot kinerja ekspor khususnya sektor mebel dan kerajinan hingga nilainya mencapai US$ 5 miliar dalam lima tahun mendatang.

Orientasi pasar

Hanya, usaha meningkatkan ekspor juga semestinya dibarengi dengan upaya pengendalian harga barang di dalam negeri. Taufik menuturkan, kenaikan harga barang telah memicu kenaikan ongkos produksi produk mebel dan kerajinan. Padahal, pembeli luar negeri belum tentu mau diajak negosiasi ulang terkait harga produk. “Pasca kenaikan harga bahan bakar minyak (BBM) tahun lalu, harga bahan baku dan bahan penunjang naik hingga 20%,” keluh Stevanny Candra, pengusaha kerajinan tangan berbahan kulit asal Yogyakarta.

Pemerintah bisa saja menargetkan peningkatan ekspor. Namun, pemerintah juga mesti membantu pengusaha mencari pembeli. Menurut Wayan Sutiari Kardha, pengusaha kerajinan tangan bunga kering di Surabaya, pemerintah pusat maupun daerah biasanya memberikan fasilitas pameran, baik di dalam maupun luar negeri. Cuma, sejak tahun 2010 lalu, kesempatan mengikuti pameran semakin berkurang. “Pengusaha membutuhkan bantuan pameran untuk memperoleh pembeli,” ucap Wayan.

Taufik bilang, pemerintah selama ini memang sudah cukup membantu pengusaha untuk promosi ke luar negeri, meski biaya ditanggung bersama. Tapi, bantuan promosi dari pemerintah masih kurang banyak dan kadang kurang tepat sasaran. “Pemerintah juga perlu meningkatkan pelatihan, baik pelatihan teknis maupun pelatihan kewirausahaan, bagi pengusaha kerajinan,” imbuh Soegiarto, Sekretaris Jenderal Asosiasi Eksportir dan Produsen Handicraft Indonesia (Asephi).

Menurut Soegiarto, masih banyak pelaku usaha kerajinan belum berorientasi pasar. Mereka hanya menjual yang bisa mereka buat. Semestinya, pelaku usaha kerajinan harus didorong untuk bisa membuat produk yang bisa dijual. Karena itu, pelaku usaha kerajinan juga mesti selalu berinovasi dalam menciptakan produk dengan menampilkan kreasi baru.

Yang tak kalah penting, Soegiarto menambahkan, pelaku usaha kerajinan jangan hanya mengandalkan produk nan unik dan kreatif. Mereka juga harus bisa melahirkan produk yang  bisa dijual dan diterima pasar secara luas, dengan harga yang tidak terlalu mahal.

Tentu, percuma saja jika produk unik tapi enggak laku.    

Laporan Utama Mingguan Kontan, NO. 21-XIX, 2015

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Editor: Tri Adi