KONTAN.CO.ID -JAKARTA. Produksi batubara tahun 2019 masih sulit diprediksi. Alasannya beragam, mulai dari persoalan evaluasi Domestic Market Obligation (DMO), harga, hingga pasar batubara. Direktur Eksekutif Asosiasi Pertambangan Batubara Indonesia (APBI) Hendra Sinadia mengungkapkan, meski saat ini para perusahaan batubara telah mengajukan Rencana Kerja dan Anggaran Biaya (RKAB), namun proyeksi produksi batubara untuk tahun depan masih belum bisa ditentukan karena harus menunggu evaluasi pemenuhan kewajiban 25% DMO yang baru akan diketahui pada akhir tahun nanti. Hendra pun khawatir, karena harus menunggu dulu evaluasi DMO, proyeksi produksi dan bisnis dari perusahaan untuk tahun depan bisa terhambat. "Sulit (untuk diprediksi), masih belum jelas, karena kita harus melihat dulu hasil evaluasi," kata Hendra, Rabu (12/12). Kendati demikian, Hendra menduga, target dan realisasi produksi batubara pada tahun depan tidak akan jauh beda dari tahun ini. Yakni berada dikisaran 500 juta ton dalam setahun. Secara tak langsung, Direktur Jenderal Mineral dan Batubara Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Gatot Ariyono mengamini hal tersebut. Saat ditemui Kontan.co.id di kantor Ditjen Minerba Jum'at pekan lalu, Bambang bilang, semua perusahaan telah mengajukan RKAB, namun belum ada yang bisa diterapkan karena masih harus menunggu evaluasi pemenuhan DMO sampai akhir Desember. "Sudah pada mengajukan, tapi belum ada yang ditetapkan, karena tergantung DMO-nya. Setelah itu baru ditetapkan," ujar Bambang. Untuk mengingatkan, setiap produsen batubara wajib memenuhi kewajiban memasok 25% dari produksinya untuk DMO. Jika tidak, maka perusahaan yang bersangkutan akan mendapatkan sanksi berupa penyesuaian produksi pada RKAB tahun depan sebesar empat kali dari realisasi DMO-nya. Adapun, hingga bulan November, realisasi produksi batubara mencapai 441,85 juta ton, atau setara dengan 91% dari target produksi batubara dalam RKAB tahun 2018 sebesar 485 juta ton. Namun, untuk menggenjot ekspor, target itu pun mendapatkan penambahan sebesar 21,9 juta ton sehingga menjadi 506,9 juta ton, dengan catatan bahwa penambahan itu tidak dikenai kewajiban DMO. Sedangkan untuk realisasi DMO, hingga November, realisasinya baru mencapai 100,37 juta ton atau sekitar 83% dari target DMO sebesar 121 juta ton. Kepala Biro Komunikasi, Layanan Informasi dan Kerjasama Kementerian ESDM Agung Pribadi merinci, dari jumlah realisasi DMO tersebut, sebanyak 82,3 juta ton ditujukan untuk kebutuhan kelistrikan dan 18,07 juta ton untuk kebutuhan industri. Hanya saja, Agung memberikan catatan bahwa angka realisasi per November itu baru berasal dari laporan para pemegang Perjanjian Karya Pengusahaan Pertambangan Batubara (PKP2B) dan Izin Usaha Pertambangan Operasi Produksi (IUP OP). "Sedangkan untuk IUP daerah masih sampai September," kata Agung. Sementara menurut Hendra, selain karena faktor evaluasi DMO, belum jelasnya proyeksi produksi tahun depan juga dipengaruhi faktor eksternal. Khususnya terkait dengan penurunan permintaan dari China sebagai akibat dari adanya pembatasan impor di negeri tirai bambu itu. Sebagaimana yang telah diberitakan Kontan.co.id, faktor permintaan batubara dari China, sangat berdampak terhadap harga batubara Indonesia, khususnya yang berkalori rendah atau 4.200 ke bawah. Mengingat China menjadi pasar ekspor batubara terbesar bagi Indonesia dengan porsi rata-rata 33% dari total ekspor tahunan. Dalam acara China Coal Summit di Qinghuangdao-China, pada 6 Desember 2018 lalu, Hendra bahkan telah meminta kepada otoritas China agar batubara dari Indonesia mendapatkan prioritas untuk bisa kembali melakukan ekspor.
Produksi batubara tahun depan masih sulit diprediksi
KONTAN.CO.ID -JAKARTA. Produksi batubara tahun 2019 masih sulit diprediksi. Alasannya beragam, mulai dari persoalan evaluasi Domestic Market Obligation (DMO), harga, hingga pasar batubara. Direktur Eksekutif Asosiasi Pertambangan Batubara Indonesia (APBI) Hendra Sinadia mengungkapkan, meski saat ini para perusahaan batubara telah mengajukan Rencana Kerja dan Anggaran Biaya (RKAB), namun proyeksi produksi batubara untuk tahun depan masih belum bisa ditentukan karena harus menunggu evaluasi pemenuhan kewajiban 25% DMO yang baru akan diketahui pada akhir tahun nanti. Hendra pun khawatir, karena harus menunggu dulu evaluasi DMO, proyeksi produksi dan bisnis dari perusahaan untuk tahun depan bisa terhambat. "Sulit (untuk diprediksi), masih belum jelas, karena kita harus melihat dulu hasil evaluasi," kata Hendra, Rabu (12/12). Kendati demikian, Hendra menduga, target dan realisasi produksi batubara pada tahun depan tidak akan jauh beda dari tahun ini. Yakni berada dikisaran 500 juta ton dalam setahun. Secara tak langsung, Direktur Jenderal Mineral dan Batubara Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Gatot Ariyono mengamini hal tersebut. Saat ditemui Kontan.co.id di kantor Ditjen Minerba Jum'at pekan lalu, Bambang bilang, semua perusahaan telah mengajukan RKAB, namun belum ada yang bisa diterapkan karena masih harus menunggu evaluasi pemenuhan DMO sampai akhir Desember. "Sudah pada mengajukan, tapi belum ada yang ditetapkan, karena tergantung DMO-nya. Setelah itu baru ditetapkan," ujar Bambang. Untuk mengingatkan, setiap produsen batubara wajib memenuhi kewajiban memasok 25% dari produksinya untuk DMO. Jika tidak, maka perusahaan yang bersangkutan akan mendapatkan sanksi berupa penyesuaian produksi pada RKAB tahun depan sebesar empat kali dari realisasi DMO-nya. Adapun, hingga bulan November, realisasi produksi batubara mencapai 441,85 juta ton, atau setara dengan 91% dari target produksi batubara dalam RKAB tahun 2018 sebesar 485 juta ton. Namun, untuk menggenjot ekspor, target itu pun mendapatkan penambahan sebesar 21,9 juta ton sehingga menjadi 506,9 juta ton, dengan catatan bahwa penambahan itu tidak dikenai kewajiban DMO. Sedangkan untuk realisasi DMO, hingga November, realisasinya baru mencapai 100,37 juta ton atau sekitar 83% dari target DMO sebesar 121 juta ton. Kepala Biro Komunikasi, Layanan Informasi dan Kerjasama Kementerian ESDM Agung Pribadi merinci, dari jumlah realisasi DMO tersebut, sebanyak 82,3 juta ton ditujukan untuk kebutuhan kelistrikan dan 18,07 juta ton untuk kebutuhan industri. Hanya saja, Agung memberikan catatan bahwa angka realisasi per November itu baru berasal dari laporan para pemegang Perjanjian Karya Pengusahaan Pertambangan Batubara (PKP2B) dan Izin Usaha Pertambangan Operasi Produksi (IUP OP). "Sedangkan untuk IUP daerah masih sampai September," kata Agung. Sementara menurut Hendra, selain karena faktor evaluasi DMO, belum jelasnya proyeksi produksi tahun depan juga dipengaruhi faktor eksternal. Khususnya terkait dengan penurunan permintaan dari China sebagai akibat dari adanya pembatasan impor di negeri tirai bambu itu. Sebagaimana yang telah diberitakan Kontan.co.id, faktor permintaan batubara dari China, sangat berdampak terhadap harga batubara Indonesia, khususnya yang berkalori rendah atau 4.200 ke bawah. Mengingat China menjadi pasar ekspor batubara terbesar bagi Indonesia dengan porsi rata-rata 33% dari total ekspor tahunan. Dalam acara China Coal Summit di Qinghuangdao-China, pada 6 Desember 2018 lalu, Hendra bahkan telah meminta kepada otoritas China agar batubara dari Indonesia mendapatkan prioritas untuk bisa kembali melakukan ekspor.