Produksi belum jalan, impor ponsel sudah disunat



JAKARTA. Rencana pemerintah mengenakan Pajak Pertambahan Nilai Barang Mewah (PPnBM) atas ponsel pintar (smartphone) sebesar 20% membuat industri telepon seluler (ponsel) gusar. Perusahaan yang tergabung dalam Asosiasi Ponsel Seluruh Indonesia (APSI) ramai mendiskusikan aturan yang diusulkan Kementerian Perdagangan (Kemdag) dan Kementerian Perindustrian (Kemperin) itu.

Belum juga reda dampak dari pemberlakukan Pajak Penghasilan (PPh) Pasal 22 juga, kini pengusaha sudah di hadapi oleh permaslaah lainnya. Di samping itu, kata Ina Hutasoit, Ketua APSI, kebijakan insentif membuka pabrik di dalam negeri baru berjalan separuh dari masa insentif tiga tahun. Eh, sebentar lagi akan berlaku PPnBM smartphone. “Sekarang, suplai dalam negeri pun belum tersubstitusi, kenapa keran impor sudah mau diminimalisir?” ujar Ina kepada KONTAN, Rabu (16/4).

Sekadar mengingatkan, tahun lalu pemerintah memberlakukan PPh pasal 22 tentang impor barang tertentu, naik 5% dari 2,5% menjadi 7,5%. PPh Pasal 22 termasuk empat program pemerintah yang muncul 24 Agustus 2013. Tujuan kebijakan itu adalah mengurangi defisit transaksi berjalan dengan cara mengurangi impor.


Kebijakan ini berlaku untuk dua kategori barang. Pertama, barang konsumsi akhir di luar bahan baku produksi, yaitu kendaraan bermotor impor, ponsel, semen, baja, pakaian, tas, dan beberapa produk lainnya.

Kedua, kategori barang yang tak termasuk kelompok yang menimbulkan inflasi, terutama kelompok pangan. Budi Darmadi, Direktorat Jenderal Industri Unggulan Berbasis Teknologi Tinggi Kemperin, bilang, PPnBM memang bertujuan untuk menekan angka impor. Namun, PPnBM diharapkan mampu mendorong industri ponsel dalam negeri.

Berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS), impor ponsel ke dalam negeri sepanjang 2013 mencapai 16.470 ton dengan nilai US$ 2,79 miliar atau sekitar Rp 33,4 triliun. Dari ukuran nilai, impor ponsel merupakan

komoditas kedua terbesar setelah minyak dan gas bumi (migas). Sementara berdasarkan negara sumber impor, Tiongkok merupakan negara terbesar pemasok ponsel, yaitu 13.116 ton alias US$ 1,6 miliar. Setelahnya, impor ponsel berasal dari Vietnam 1.426 ton dengan nilai US$ 607,1 juta, lalu Meksiko 239 ton senilai US$ 203,6 juta.

Bea masuk komponen

Masalahnya, PPnBM ponsel nanti bukan cuma berlaku untuk ponsel impor saja. Ponselponsel lokal juga akan terkena PPnBM. Belum lagi, ponselponsel lokal yang diproduksi di dalam negeri masih terbebani bea masuk impor komponen sebesar 5%–15%. Sedangkan impor ponsel utuh alias ponsel jadi, tak terkena bea masuk.

Maka wajar saja, meski beleid PPnBM belum resmi meluncur, industri sudah gelisah dan mulai menyampaikan unek-uneknya.

Pertama, jika memang ingin membatasi impor, mengapa PPnBM juga berlaku untuk ponsel lokal? Kedua, memang betul sudah ada produsen ponsel di dalam negeri, tapi sebagian besar komponen ponsel masih bersumber dari impor.

Pelaku bisnis ponsel berharap, pemerintah fokus dahulu membenahi tantangan industri ponsel di dalam negeri daripada mempersiapkan kebijakan pajak baru. Misalnya saja, melindungi industri dari maraknya peredaran ponsel selundupan di pasar. “Atau, bisa membebaskan bea masuk untuk komponen impor ponsel jadi 0%,” ucap Tjandra Lianto, Direktur Marketing PT Arga Mas Lestari, yang mengusung merek Advan.

Ina menambahkan, harga ponsel impor jadi dengan ponsel produksi lokal bakal tidak beda jauh gara-gara struktur biaya paling besar ponsel lokal adalah komponen yang masih impor.

Pendapat PT Hartono Istana Teknologi, produsen merek ponsel Polytron, senada dengan Advan. Menurut Santo Kadarusman, Public Relations and Marketing Event Manager Hartono Istana Teknologi, jika memang ingin menggerakkan industri di dalam negeri, seharusnya pemerintah memberikan insentif berupa pemangkasan bea masuk komponen. Ia mencontohkan di Polytron, porsi komponen impor sangat besar.

Demikian juga pabrikan lokal PT Aries Indo Global yang menjual produk bermerek Evercoss. Produk-produk Advan dan Evercoss, bisa dibilang, hampir 100% masih menggunakan komponen impor.

Hal lain yang membuat ponsel lokal bisa mahal antara lain batasan kuota impor komponen. Santo berharap, pemerintah bisa berperan dalam hal kuota impor ini. Sebab, seringkali produsen harus memesan kuota impor melebihi kapasitas produksinya. Maksudnya, tidak semua komponen yang diimpor itu dipakai semua. “Sementara kalau beli di bawah kuota juga sama saja, harga komponen jadi lebih mahal,” tutur Santo.

Karena itulah, sebelum memberlakukan kebijakan PPnBM, industri meminta pemerintah mempertimbangkan untuk menerapkan insentif bea masuk komponen impor. Industri sepakat, akan lebih baik jika soal PPnBM diterapkan setelah pembahasan bea masuk komponen impor.

Toh, pesatnya industri ponsel di dalam negeri sering kali ketinggalan jika bersaing dalam hal teknologi. Ini artinya, imbuh Ina, industri di dalam negeri tetap membutuhkan komponen impor yang teknologinya jauh memenuhi kebutuhan konsumen. “Berarti, kami masih butuh impor,” tegas Ina.

Di samping itu, kebijakan PPnBM nyatanya juga belum matang benar. Sebab, beredar kabar, PPnBM sebesar 20% hanya akan berlaku untuk ponsel impor berbanderol di atas Rp 5 juta. Belakangan, muncul rencana pemerintah akan memberlakukan PPnBM untuk semua ponsel pintar, baik di atas atau di bawah Rp 5 juta.

“Sebelumnya wacananya angkanya bedabeda. Nah ini sekarang semua pukul rata,” papar Muhamad Lutfi, Menteri Perdagangan beberapa waktu lalu.

Sayang sekali, baik Lutfi maupun Budi enggan menjelaskan secara detail kepastian kebijakan PPnBM. Budi beralasan, rancangan itu masih dibahas bersama asosiasi dan pelaku industri. Namun, Menteri Perindustrian M.S. Hidayat menargetkan, aturan baru PPnBM sudah berlaku setelah terbentuknya kabinet baru.

Mengerek harga

Yang jelas, industri pada prinsipnya akan mengikuti apa yang sudah ditetapkan pemerintah. Cuma, jangan heran jika para produsen ponsel itu akan mengerek harga produk mereka. “Mau tidak mau kami harus menaikkan harga,” terang Tjandra.

Langkah tersebut bukan hal aneh karena ada struktur biaya produksi yang juga naik. Untuk mengantisipasi kebijakan PPnBM, Tjandra berencana mengerek harga ponsel Advan secara bertahap. Apabila tarif PPnBM 20%, Advan tak serta-merta menaikkan harga ponselnya sebesar 20%. “Kami cicil kenaikannya, misal 3% dahulu, lalu 5%,” tutur Tjandra. Tujuannya, agar mereka bisa beradaptasi dengan pasar.

Lain lagi dengan Polytron. Perusahaan yang juga memproduksi barang elektronik rumahtangga ini menuturkan, akan menjadikan ponsel Polytron sebagai hadiah bagi pembeli produk elektronik rumahtangga lainnya yang bermerek sama. “Misalnya, untuk pembelian televisi LED Polytron ukuran tertentu, bonus ponsel Polytron,” tambah Santo.

Tak hanya di situ, Polytron sudah menyiapkan strategi bundling dengan operator agar menarik pembeli. Bagi Polytron, strategi pembundelan ini efektif karena konsumen mudah tergoda dengan paket pulsa yang murah. “Kalau harga ponselnya sudah mahal, tapi harga pulsanya murah bisa jadi pertimbangan,” tambah Santo.

Selain itu, Polytron berencana menambah jumlah gerai. Tahun ini, Polytron akan menambah sekitar delapan service centre dan showroom khusus ponsel Polytron saja. Tahun lalu, penjualan terbesar Polytron disumbang oleh produk home appliance (kulkas, AC, mesin cuci, dan dispenser) sekitar 55%. Sisanya, pendapatan datang dari audio-video.

Khusus produk ponsel, sekitar 60% produksi Polytron adalah ponsel fitur yang harganya di bawah Rp 400.000-an. Tahun ini, ponsel fi tur akan dikurangi, dan Polytron fokus ke segmen smartphone, termasuk tablet.

Meski kapasitas terpasang pabrik ponsel Polytron 100.000 unit per bulan, utilitas pabriknya baru 30%. Tahun ini, Polytron akan menggenjot produksi ponsel lebih tinggi lagi.

Sedangkan Evercoss mengaku tidak punya strategi khusus untuk menarik minat pembeli, jika nanti harga produknya terpaksa naik. Edward Sofi ananda, Direktur Utama Aries Indo Global, menuturkan, tanpa strategi khusus, konsumen tetap bisa beradaptasi dan membeli ponsel bermerek lokal. Edward beralasan, ponsel Evercoss sudah dikenal sebagai barang murah di mata konsumen.

Karena itulah, Edward optimistis, bila harga harus naik, konsumen Evercoss tetap tidak merasa terbebani. Setelah beberapa bulan kebijakan diterapkan, Edward percaya diri pasar bisa menyesuaikan diri. “Beda dengan ponsel impor yang harganya memang mahal, kalau naik, terasa,” kata dia.

Soal harga, ketiga produsen ponsel lokal ini sepakat, ponsel disebut murah jika banderol harganya masih di sekitar Rp 1 jutaan. Meski demikian, Advan memilih tak menjawab saat dikonfirmasi apakah pihaknya masih akan menjual produkproduknya di kisaran harga Rp 1 juta. Begitu pula Polytron dan Evercoss yang juga belum bisa menjanjikan apakah produk mereka masih akan ada yang dibanderol di bawah Rp 1 juta setelah PPnBM berlaku.

Mereka beralasan, menjanjikan harga di bawah Rp 1 juta-an memang agak sulit lantaran masih belum bisa diukur. Selain kebijakannya belum berlaku, produsen lokal juga melihat tantangan besar dari maraknya ponsel ilegal yang beredar di pasaran. Tidak hanya sebatas di kawasan Medan atau Batam saja, ponsel ilegal bisa dijumpai dengan mudah di Jakarta. “Ada di pusat elektronik, seperti Roxy,” cetus Santo.

Wakil Ketua APSI Lee Kang Hyun memprediksi, jika PPnBM 20% diterapkan, pasar gelap smartphone bisa tumbuh 50%. Ini persis terjadi pada era 2001–2002. “PPnBM pernah diterapkan dan pasar gelap meningkat,” ujar dia.

Berharap memperoleh tax holiday

Para produsen telepon seluler (ponsel) mulai mengantisipasi peningkatan biaya impor komponen. Edward Sofi ananda, Direktur Utama PT Aries Indo Global (AIG) yang menjual ponsel bermerek Evercoss, menuturkan, perusahaannya mulai mencoba memproduksi sendiri beberapa komponen. Ia mencontohkan, casing dan baterai. “Teknologinya sudah kami kuasai, tinggal penerapannya saja,” tutur Edward.

Sementara PT Hartono Istana Teknologi (HIT), yang memiliki merek Polytron, memang belum membuat sendiri komponen ponsel mereka. Namun, Santo Kadarusman, Public Relations and Marketing Event Manager HIT, menargetkan, pertengahan tahun ini tingkat kandungan dalam negeri (TKDN) pada ponsel mereka bisa mencapai 55%. “Dari yang sebelumnya kan masih 100% komponen impor,” imbuh Santo.

Meskipun demikian, para produsen lokal ini masih berharap pemerintah mempermudah industri mendapatkan tax holiday alias insentif pembebasan pajak. Cuma, masalahnya, tax holiday hanya dianugerahkan ke pemodal yang membuka pabrik dengan nilai investasi minimal Rp 1 triliun. Karena itulah, industri berharap, nilai investasi itu bisa diturunkan menjadi, misalnya Rp 100 miliar. Maklum saja, pelaku industri mengaku berat jika harus menanamkan investasi mencapai Rp 1 triliun.

Wakil Ketua Asosiasi Ponsel Seluruh Indonesia (APSI) Lee Kyang Hyun menambahkan, jangankan Rp 1 triliun, investasi awal senilai Rp 500 miliar saja sudah berat di masa kini. Lee menilai, jumlah nilai minimal investasi sekitar Rp 100 miliar tentu saja tidak akan terlalu memberatkan industri sebagai syarat memperoleh tax holiday.

Di samping tax holiday, APSI juga meminta proses pengurusan untuk memperoleh tax holiday juga dipermudah. Edward yang sudah membuka pabriknya sendiri menilai, persyaratan untuk mendapat tax holiday masih terlalu berbelit. Tak jarang, pengurusan tax holiday berlangsung sangat lama karena masalah proses yang terlalu rumit tersebut.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Editor: Hendra Gunawan