Produksi berkurang, harga nikel terbang



JAKARTA. Harga nikel masih melanjutkan penguatan setelah mencapai level tertinggi dalam delapan bulan terakhir. Adanya kekhawatiran gangguan produksi di negara-negara produsen nikel, kembali mendukung tren kenaikan harga nikel.

Mengutip Bloomberg, Selasa (19/7), kontrak harga nikel pengiriman tiga bulan di London Metal Exchange menguat 0,47% menjadi US$ 10.595 per metrik ton dibandingkan sehari sebelumnya.

Padahal di awal pekan, nikel telah menguat 2,6% di US$ 10.545 per metrik ton. Angka tersebut menjadi posisi tertinggi sejak 28 Oktober 2015. Dan dalam sepekan terakhir harga nikel sudah melambung 1%.


Analis PT Asia Tradepoint Futures Andri Hardiansyah mengatakan, dukungan terbesar melesatnya harga nikel karena kekhawatiran global terhadap pasokan nikel, setelah Filipina memangkas produksinya. Tambahan kekhawatiran terjadi setelah adanya optimisme kenaikan permintaan China.

Bahkan, Goldman Sachs Group Inc memperkirakan harga nikel terus melaju hingga Angka US$ 12.000 per metrik ton dalam enam bulan ke depan jika gangguan produksi Filipina terus membayangi.

Seperti diketahui, pemerintah Filipina kini rajin melakukan penutupan tambang. Padahal, seluruh tambang nikel di negara tersebut menyumbang sekitar 20% dari tambang nikel global. Penutupan tersebut lantaran maraknya isu lingkungan. Geliat tingginya permintaan mulai terlihat sejak Mei lalu.

Berdasarkan International Nickel Study Group, permintaan nikel global pada bulan Mei telah melebihi output hingga 11.300 ton. Defisit nikel selama lima bulan pertama tahun ini tercatat sebesar 21.200 ton. Pasar nikel telah menuju defisit tahunan pertama sejak tahun 2011.

Macquarie Group Ltd memperkirakan adanya kekurangan nikel global yang mencapai 110.000 ton tahun ini. Defisit diprediksi akan berlanjut hingga 2017. "Permintaan yang lebih baik telah membuat kami melakukan revisi proyeksi defisit pada tahun 2016 dan tahun 2017, bahkan tanpa memasukkan faktor penutupan tambang di Filipina," papar analis Macquarie, seperti dikutip Bloomberg.

Sependapat Andri memprediksi, harga nikel berpeluang mencapai level US$ 12.000 per metrik ton pada akhir tahun. "Untuk komoditas, faktor demand dan supply memegang peranan cukup besar dalam pergerakannya," ujarnya.

Di sisi lain, impor nikel China bulan Mei menguat hingga 100% menjadi 48.592 ton dibandingkan bulan sebelumnya. Sedangkan impor Juni diprediksi mencapai 50.000 ton. Pertumbuhan ekonomi China kuartal II-2016 sebesar 6,7% turut menambah optimisme pasar akan perbaikan ekonomi Negeri Tembok Raksasa.

Beberapa faktor lain yang mendukung penguatan harga nikel, seperti kekhawatiran ekonomi Inggris pasca keluar dari Uni Eropa. Meski menahan suku bunga pada pertemuan bulan ini, Bank Sentral Inggris (BOE) kemungkinan memangkas suku bunga dan menggelontorkan stimulus pada pertemuan selanjutnya.

"Ditambah kondisi ekonomi Amerka Serikat yang juga belum stabil, sehingga menjadi faktor pendorong bagi komoditas," lanjut Andri.

Tak hanya itu, nikel memiliki peluang naik, jika harga minyak dunia menguat. Meskipun tren pergerakan bullish, pelaku pasar perlu memperhatikan ada peluang koreksi jangka pendek, mengingat harga telah naik selama tiga hari berturut-turut.

Sementara di jangka panjang, koreksi harga nikel dapat terjadi apabila isu lingkungan mereda dan produsen nikel di negara tersebut dapat kembali beroperasi. Lalu tampilan data ekonomi Tiongkok akan terus menjadi perhatian pasar.

"Jika data - data ekonomi China kurang menggembirakan, maka dapat menahan laju harga nikel," lanjut Andri.

Secara teknikal, Andri melihat, harga nikel bergerak di atas moving average (MA) 50, MA100 dan MA200 sehingga tren pergerakan menguat. Indikator moving average convergence divergence (MACD) berada di area positif.

Indikator relative strength index (RSI) dan stochastic menguat di atas level 50. Rabu (20/7) Andri menduga harga nikel akan menguat dan bergerakan pada kisaran US$ 10.430 sampai US$ 10.660 per metrik ton serta US$ 10.380 - US$ 10.730 per metrik ton dalam sepekan ke depan.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Editor: Barratut Taqiyyah Rafie