Produksi konsentrat Freeport Indonesia turun 57% tahun ini



KONTAN.CO.ID -JAKARTA. Produksi dan ekspor konsentrat PT Freeport Indonesia (PTFI) turun mulai tahun ini. Penurunnya tergolong signifikan, yakni sekitar 57% dari produksi konsentrat tembaga tahun 2018 lalu.

Direktur Mineral Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Yunus Saefulhak menjelaskan, dari kapasitas produksi bijih tembaga sekitar 300.000 ton per hari, rata-rata produksi PTFI mencapai 270.000 ton bijih per hari. Dari jumlah produksi bijih tembaga harian itu, PTFI memproduksi konsentrat tembaga sebesar 2,1 juta ton sepanjang tahun 2018.

Dari jumlah produksi konsentrat tersebut, lanjut Yunus, PTFI mengekspor sebanyak 1,2 juta ton pada tahun 2018. Sedangkan 800.000 ton sisanya dipasok ke Smelting Gresik untuk menjalani proses pengolahan konsentrat.


"Tapi pada tahun ini produksi (konsentrat) lebih rendah, karena ada peralihan operasional ke dari tambang terbuka (open pit) ke tambang bawah tanah (underground mine)," kata Yunus dalam paparan kinerja mineral dan batubara (minerba) tahun 2018 yang bertempat di Kantor Ditjen Minerba, Rabu (9/1).

Karenanya, pada tahun ini, produksi konsentrat tembaga PTFI diperkirakan akan turun sekitar 57% atau menjadi 1,2 juta ton. Dari jumlah tersebut, diproyeksikan sebesar 1 juta ton akan digunakan untuk memenuhi kapasitas pengolahan di Smelting Gresik.

Alhasil, ekspor konsentrat tembaga PTFI pada tahun ini akan turun signifikan menjadi hanya sekitar 200.000 ton. "2019 turun produksinya. Itu jadi sekitar 1,2 juta ton konsentrat. Artinya bisa sekitar 200.000-an ribu ton diekspor, 1 juta ton-nya diproses di Smelting Gresik," imbuh Yunus.

Yunus mengatakan, penurunan itu terjadi karena produksi di open pit sudah menurun, sedangkan underground mine belum mampu menutup penurunan produksi di tambang terbuka tersebut. Selama tahun 2019-2020, produksi akan turun karena PTFI harus terlebih dulu menyiapkan infrastruktur dan kesiapan produksi di underground mine. "Ada proses, bangun infrastruktur, bikin jalan, macem-macem," imbuhnya.

Dengan alasan peralihan operasional tambang itu, Direktur Jenderal Minerba Kementerian ESDM Bambang Gatot Ariyono pun mengatakan bahwa penerimaan negara dari PTFI akan turun pada tahun ini. Meski tak menyebutkan detail angkanya, namun Bambang menyatakan, penerimaan negara dari PTFI akan kembali naik setelah tahun 2020. "Turun di 2019, setelah 2020 naik karena sudah pindah ke underground mine," ungkapnya.

Sebelumnya, dalam wawancara ekslusif kepada Kontan.co.id, Direktur Keuangan PT Indonesia Asahan Aluminium (Inalum) yang kini menjabat sebagai Wakil Direktur Utama PTFI Orias Petrus Moedak menjelaskan hitung-hitungan dari peralihan tambang PTFI ini. Orias menjelaskan, pada masa transisi dari open pit ke underground mine itu, lebih dari separuh pendapatan PTFI akan mengalami penurunan.

Dalam data yang dipaparkan Inalum, proyeksi pendapatan PTFI pada tahun 2019 hanya US$ 3,14 miliar, sedangkan pendapatan sebelum bunga, pajak, depresiasi dan amortisasi atau earnings before interest, tax, depreciation and amortization (EBITDA) di tahun yang sama adalah US$ 1,25 miliar. Jumlah itu menurun lebih dari separuh karena pendapatan PTFI pada tahun 2018 adalah US$ 6,52 miliar dan EBITDA sebesar US$ 4 miliar.

Pendapatan PTFI baru bisa mencapai US$ 6 miliar pada tahun 2022. Sebelum itu, pada tahun 2020, pendapatan PTFI diproyeksikan hanya sampai di angka US$ 3,83 miliar dan EBITDA US$ 1,79 miliar. Sementara pada tahun 2021, pendapatan diprediksi sebesar US$ 5,12 miliar dan EBITDA US$ 2,64 miliar.

Pada tahun 2022, pendapatan sudah kembali menyentuh angka US$ 6,16 miliar dan EBITDA US$ 3,62 miliar. Setelah itu, dalam beberapa tahun ke depan, pendapatan PTFI diprediksi akan stabil, bahkan bisa menembus di atas US$ 7 miliar.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Editor: Azis Husaini