JAKARTA. Kenaikan harga minyak WTI mulai melambat. Jumat (24/2), harga minyak WTI kontrak pengiriman April 2017 di New York Mercantile Exchange turun 0,83% menjadi US$ 53,99 per barel. Tapi, sepekan terakhir, harga minyak masih naik 0,39%.Putu Agus Pransuamitra, Research and Analyst Monex Investindo Futures, mengungkapkan, harga minyak terkoreksi lantaran adanya kenaikan stok minyak di Amerika Serikat (AS). Cadangan minyak di negara adidaya ini ternyata sudah naik selama tujuh pekan berturut-turut.Tekanan bertambah setelah rilis Baker Hughes Inc menyebut, rig aktif pengeboran minyak AS per 10 Februari 2017 bertambah lima unit menjadi 602 unit. Ini tertinggi sejak Oktober 2015.
Sentimen negatif tersebut akhirnya menghambat pengaruh pemangkasan produksi minyak OPEC. Namun, menurut Putu, efek penambahan rig pengeboran di AS hanya jangka pendek. Research & Analyst Finex Berjangka Nanang Wahyudin menyebut, pemangkasan produksi minyak OPEC dan kenaikan produksi di AS masih akan jadi penggerak harga minyak. Pelaku pasar juga perlu memperhatikan nilai tukar dollar AS, lantaran minyak ditransaksikan menggunakan the greenback. "Saat ini posisi dollar AS terhitung stagnan dan bukan tidak mungkin melemah lagi mengingat saat ini para pelaku pasar masih meragukan langkah kebijakan Presiden Donald Trump selanjutnya," ungkap Nanang. Resistance baru Nanang memperkirakan, jika harga minyak berhasil menembus US$ 55 per barel pekan ini, bukan tidak mungkin harga minyak bisa mencapai resistance berikutnya di US$ 60 per barel. Apalagi, Goldman Sachs Inc memprediksi, permintaan tahun ini bisa naik mencapai 1,5 juta barel per hari. Melalui riset, Goldman Sachs memprediksi harga minyak bisa naik ke US$ 57,5 per barel di kuartal II-2017. Ini terutama terjadi jika ekonomi China tumbuh lebih baik dari prediksi sehingga mendorong permintaan naik. Ini akan positif bagi harga minyak.