JAKARTA. Kenaikan harga minyak dunia terhenti. Mengutip
Bloomberg, Rabu (14/12) per pukul 16.40 WIB, harga minyak WTI kontrak pengiriman Januari 2017 di New York Mercantile Exchange tergerus 1,25% menjadi US$ 52,33 per barel. Dalam sepekan terakhir, harga minyak memang sudah terbang 5,14%. Harga emas hitam ini melesat setelah akhir pekan lalu negara-negara anggota OPEC dan sejumlah negara produsen minyak non OPEC setuju memangkas produksi minyak negaranya. Analis Central Capital Futures Wahyu Tribowo Laksono menjelaskan, secara fundamental harga minyak masih ditopang faktor positif. Hanya saja kini pasar kembali dihadapkan pada kekhawatiran naiknya produksi minyak dari negara produsen di luar OPEC, seperti Amerika Serikat (AS) dan China.
Laporan Energy Information Administration (EIA) menunjukkan, produksi minyak AS mencapai 458,8 juta barel hingga pekan lalu. Realisasi tersebut berada di atas level musimannya dalam tiga dekade terakhir. Produksi dari tujuh tambang minyak utama Negeri Paman Sam ini juga diprediksi naik pada Januari 2017. "Kalau ini terjadi, pemangkasan produksi OPEC tidak banyak membantu mengurangi kelebihan pasokan global," tutur Wahyu. Di sisi lain, produksi minyak mentah China pada November 2016 naik 3,4% menjadi 3,93 juta barel. Ini juga posisi tertingginya sejak Juli 2016, setelah pada Oktober 2016 lalu terpuruk ke level terendahnya dalam tujuh tahun terakhir. Tekanan juga datang dari laporan American Petroleum Institute, yang menyatakan stok mingguan minyak AS melonjak jadi 4,7 juta barel pekan lalu. Tambah lagi, The Fed akan menaikkan suku bunga acuan. Ini menambah sentimen negatif. "Setelah ada kenaikan suku bunga setidaknya 25 basis poin, maka harga komoditas, termasuk minyak, akan koreksi dulu," kata Deddy Yusuf Siregar, Research & Analyst Asia Tradepoint Futures. Dalam tren
bullish Walau dihimpit katalis negatif, Deddy optimistis pergerakan harga minyak WTI bisa bertahan di atas US$ 55 per barel di akhir tahun. Pasalnya, permintaan China di 2017 diprediksi naik menjadi 1,3 juta barel per hari dari sebelumnya 1,1 juta barel per hari. "Imbas kenaikan suku bunga The Fed tahun ini bagi harga juga enggak terlalu besar," analisa Wahyu. Pasca kenaikan suku bunga, posisi USD tidak akan menguat terlampau tajam. Dengan demikian, harga minyak WTI akan berada dalam tren
bullish setidaknya hingga akhir tahun. Hitungan Wahyu, hingga awal Januari 2017 harga berpotensi mencapai US$ 55–US$ 60 per barel. Wahyu juga menganalisa, meski keputusan produsen OPEC memangkas produksi bisa memicu kenaikan produksi dari produsen lainnya yang ingin merebut pangsa pasar OPEC, tapi pada dasarnya tidak ada produsen yang ingin harga minyak mentah terlampau rendah. Namun, tetap sulit bagi minyak menembus level US$ 70 per barel bila pasokan global tidak berkurang drastis. Tapi setidaknya tren harga minyak sudah perlahan meninggalkan area bearish. Hal ini didukung laporan produksi minyak China periode Januari-November 2016 yang turun 6,9% menjadi sekitar 4 juta barel per hari dibandingkan periode yang sama tahun sebelumnya. Dengan demikian, ICIS-China's Sun memprediksi sepanjang tahun 2016 ini produksi minyak China cuma turun 9% menjadi 200 juta ton.
Menilik pergerakan harian dari sisi teknikal, Deddy menjabarkan harga minyak WTI bergerak di atas moving average (MA) 50, 100 dan 200, mendukung kenaikan. Garis
moving average convergence divergence (MACD) dengan histogram di atas level 0 berpola uptrend. Begitu juga dengan stochastic level 63 yang mengarah naik. Tapi
relative strength index (RSI) memberi sinyal turun di level 47. Deddy memprediksi harga minyak WTI hari ini (15/12) bergerak di rentang US$ 51,80–US$ 54,40 per barel. Sedangkan Wahyu memperkirakan dalam sepekan ke depan harga minyak WTI bergerak di kisaran US$ 47,00–US$ 57,00 per barel. Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News Editor: Barratut Taqiyyah Rafie